Salin Artikel

Mengenal Tradisi Nyekar atau Nyadran di Lumajang

Ada yang datang berjalan kaki, ada pula yang naik becak, mengendarai sepeda motor hingga kendaraan roda empat.

Orang-orang ini datang untuk melangsungkan tradisi nyekar atau nyadran.

Nyekar atau nyadran adalah tradisi membersihkan makam leluhur dan mengirimkan doa serta menabur bunga.

Memang, berbeda orang, beda juga penyebutan tradisi ini. Ada yang menyebut nyekar. Ada pula yang menyebut nyadran. Namun, secara prosesi kurang lebih keduanya sangat mirip.

Rutin dilaksanakan

Tradisi nyekar atau nyadran ini rutin dilakukan warga Lumajang khususnya jelang Ramadhan.

Tidak hanya jelang Ramadhan, tradisi yang telah turun temurun ini juga rutin dilakukan warga Lumajang saat menjelang Lebaran maupun setiap bulan pada malam Jumat atau Kamis sore.

Kusnandar, salah seorang warga yang sedang nyekar di TPU Jogoyudan mengatakan, ada perbedaan mencolok dari prosesi nyekar di daerah asalnya yakni Jawa Tengah dibandingkan dengan di Lumajang.

Perbedaan yang dimaksud Kusnandar yakni hari yang dikeramatkan untuk melakukan prosesi nyekar.

Di daerah asalnya, nyekar biasanya dilakukan setiap malam Jumat kliwon. Sedangkan, di Lumajang biasa melangsungkannya pada malam Jumat legi.

Selain hal itu, menurut Kusnandar tidak ada perbedaan yang mencolok baik dari proses upacara maupun bunga yang biasa ditaburkan di akhir prosesi nyekar.

"Kalau mau puasa gini rutin, nanti ke sini lagi pas mau Lebaran. Yang beda ini hanya harinya saja, kalau di tempat asal saya itu malam Jumat kliwon, di sini Jumat manis," kata Kusnandar di TPU Jogoyudan.

Proses nyekar, diawali dengan membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar makam leluhur.

Dilanjutkan dengan mengirimkan doa. Biasanya ada yang membaca doa berupa membaca surat yasin dan tahlil. Ada juga yang hanya membacakan surat Al-fatihah.

Usai dibacakan doa, keluarga akan menabur bunga di atas makam leluhurnya yang telah mendahului.

"Kalau musim kemarau pasti ada penyiraman makam juga, kalau musim hujan seperti ini hanya tabur bunga saja," jelasnya.

Bunga yang wajib ada

Dalam tradisi nyekar atau nyadran di Lumajang, ada tiga jenis bunga yang wajib ada yakni bunga cempaka putih, kenanga dan melati.

Menurut Edi, salah seorang pengunjung TPU Jogoyudan, selain tiga bunga itu boleh ditambahkan bunga lainnya seperti mawar, anggrek, hingga daun pandan.

Edi menyebut, pemberian bunga ini merupakan simbol dari doa yang dikirimkan kepada para leluhur.

"Kita ini orang Jawa kan biasa menyimbolkan sesuatu, jadi doa itu kita simbolkan dalam bentuk wewangian yaitu bunga," kata Edi.

Selain bunga, Edi juga biasa membakar dupa saat melakukan tradisi nyadran. Khususnya saat ia hendak memperbaiki makam keluarganya yang sudah rusak.

Menurut Edi, hal ini dilakukan dalam rangka pamit kepada ibu bumi atau tempat kelak kita akan disemayamkan.

"Kalau dalam Islam ini kita tawasul kepada leluhur karena adanya kita ini kan dari Sang Maha Pencipta melalui mereka, karena juga telah memberi kita banyak mulai dari kita lahir sampai mati nanti dari situ," jelasnya.

Keunikan lainnya, proses nyekar atau nyadran di Lumajang adalah adanya beberapa orang yang fanatik enggan menggunakan bunga tertentu.

Seperti daun pandan. Selain karena tanaman ini tidak wajib, biasanya hal ini dilakukan karena orang yang telah meninggal semasa hidupnya tidak menyukai wewangian jenis tanaman tersebut.

"Biasanya ada yang fanatik tidak mau bunga tertentu, itu karena orangnya waktu hidup gak mau bunga ini, tapi kalau sekarang sudah jarang," kata Bambang, juru kunci TPU Jogoyudan.

Puncak keramaian malam tarawih

Sore hari jelang taraweh, jadi waktu paling favorit warga di Lumajang untuk datang ke makam keluarganya.

Kata Bambang, saking banyaknya yang datang, area parkir yang disediakan sampau tidak muat menampung kendaraan pengunjung.

Bahkan, saking padatnya sampai ada yang memarkirkan kendaraannya hingga memasuki area makam atau dekat makam keluarganya.

"Puncaknya itu pas malam puasa, pasti ramai mulai jam 2 sore sampai maghrib. Parkiran ini gak cukup jadi ada yang sampai bawa kendaraannya masuk juga," terang Bambang.

Sejarah nyekar atau nyadran

Sejarawan Lumajang Mansur Hidayat mengatakan, secara bukti tertulis kapan tradisi ini mulai ada saat menjelang Ramadhan.

Namun, secara antropologis, jejaknya bisa diketahui dari perilaku masyarakat yang telah turun temurun melakukan tradisi ini.

Menurut Mansur, masyarakat jawa biasa menyebut tradisi nyekar dengan sebutan nyadran.

Istilah nyadran berasal dari kata Shrada dalam kitab negarakertagama.

Dalam Babad Negarakertagama, diceritakan pada tahun 1.361 masehi Raja Hayam Wuruk memperingati 12 tahun meninggalnya neneknya yakni Raja Patni.

Peringatan itu dilakukan dengan cara membersihkan candi-candi pendarmaan tempat abu Raja Patni diletakkan.

"Dalam perkembangannya saat masuknya Islam, tradisi ini kemudian diakulturasikan sehingga seluruh jawa rata-rata saat menjelang ramadhan melakukan tradisi nyadran," terang Mansur.

Mansur menjelaskan, secara filosofis, tradisi nyadran berarti mendoakan arwah leluhur secara ghaib dan membersihkan makamnya secara fisik.

"Mendoakan arwah leluhur secara ghaibnya dan secara fisik dibersihkan (makamnya)," pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/03/08/070036078/mengenal-tradisi-nyekar-atau-nyadran-di-lumajang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke