Dalam istilah hukum, mereka disebut dengan istilah ‘anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), yaitu anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Baca juga: Rekonstruksi Santri Dianiaya di Kediri, Pengacara Pelaku Sebut Tidak Ada Adegan Sudutan Rokok
Beberapa hari sebelum hembusan nafas terakhir, Bintang mengirimkan pesan kepada ibunya Suyanti untuk minta dijemput pulang lewat aplikasi WhatsApp.
“Sini jemput Bintang… Cepet sini. Aku takut maaa… Maaa tolonggh… Sini cpettt jemput,” pinta Bintang berkali-kali ke ibunya.
Suyanti mencoba menenangkan anaknya untuk bertahan. Mulai dari berjanji akan menjemputnya usai Ramadan hingga memberikan sepeda motor jika lulus sekolah.
Namun, Bintang tetap meminta untuk dijemput pulang. Keluarga tak menduga itu adalah pesan terakhirnya.
Suyatni mengatakan salah satu terduga pelaku adalah keponakannya, berinisial AF .
Baca juga: Alasan Sepupu Aniaya Santri di Kediri, Ikut Pukul Korban hingga Tewas
"Iya, AF memang sepupu Bintang. Saya juga kalau meminta tolong agar Bintang dijaga dan uang jajan anak saya juga kepada dia… Yang saya gak habis pikir. Apa salah anak saya, kok sampai tega dianiaya seperti itu," kata Suyatni.
Pengasuh PPTQ Al Hanifiyyah Mayan Mojo, Fatihunada mengaku awalnya mendapat kabar tewasnya korban karena terpeleset di kamar mandi pada Jumat (23/02). Dia menegaskan bukan karena penganiayaan.
"Saya dikabari saat baru bangun tidur, bahwa Bintang meninggal dunia. Kemudian saya tanya saudaranya FT, bahwa korban terpeleset di kamar mandi," kata Fatih, Senin (26/02).
Penasehat hukum keempat terduga pelaku, Rini Puspita Sari mengakui bahwa kliennya melakukan pemukulan kepada Bintang, yaitu ke wajah, punggung, dan dada.
Berdasarkan pengakuan terduga pelaku, kata Rini, pemukulan dilakukan karena korban tidak melakukan beberapa aturan, seperti mengikuti salat berjemaah dan piket.
“Pelaku ini mengingatkan jangan begitu, tapi korban saat ditegur menjawabnya tidak sinkron. Akhirnya emosi dan spontanitas melakukan pemukulan,” kata Rini ke BBC News Indonesia.
Baca juga: Tersangka Pelaku Pengeroyokan Santri di Kediri Jalani Rekonstruksi 55 Adegan di 3 TKP
Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jatim Mohammad As'adul Anam mengatakan, karena tidak memiliki izin maka pihaknya tidak bisa melakukan tindakan secara administrasi.
"Kanwil dalam hal ini sangat menghormati proses hukum yang berlaku. Kalau penutupan, mohon maaf, karena sekolah, madrasah dengan ponpes itu entitas yang berbeda. Kalau ponpes ini rata-rata tidak didirikan pemerintah, semuanya didirikan kiai. Kalau pesantren dicabut izinnya, kegiatan ngajinya tetap, karena sifatnya informal,"kata Anam.
Berdasarkan penelusuran Kanwil Kemenag Jatim, PPTQ Al-Hanifiyyah mulai menjalankan kegiatan belajarnya sejak tahun 2014.
Saat ini, jumlah santri Al Hanifiyyah sebanyak 93 orang, terdiri dari 19 santri dan 74 orang santriwati.
Baca juga: Sepupu Aniaya Santri di Kediri karena Jengkel Diadukan ke Orangtua
Pengamat pesantren dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Prof. Dr. Muhammad Tohir menyebut tindak kekerasan yang menewaskan santri di Kediri disebabkan karena keteledoran. Pasalnya, kasus serupa pernah terjadi di pesantren lain.
Tohir juga menyebut tidak ada sistem di pesantren yang bisa memantau, memonitor dan bisa memitigasi terjadinya kekerasan.
”Namanya teledor, tidak ada persiapan, mitigasi, tidak ada upaya pencegahan,” kata Tohir kepada wartawan Mustopa yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (28/02).
Relasi kepatuhan santri kepada seniornya juga disebut memberikan peluang untuk terbukanya tindakan-tindakan yang bisa dianggap sebagai kekerasan.
Baca juga: 7 Fakta Kasus Santri di Kediri Tewas Dianiaya, Sempat Minta Dijemput
”Maka, menurut saya sudah sepatutnya pesantren, semua lembaga sekolah punya semacam layanan untuk ramah santri,” katanya.