Pihaknya mendasarkan tuntutan redistribusi kawasan hutan itu pada Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023.
Menurut Supriarno, langkah Perum Perhutani KPH Blitar berupaya memaksakan penerapan kerja sama kemitraan dengan petani penggarap melalui konsep perhutanan sosial berisiko memicu konflik antara Perhutani dengan para petani penggarap.
Terlebih, langkah Perum Perhutani KPH Blitar menggandeng Kejaksaan Negeri Blitar dapat dipersepsikan sebagai gertakan terhadap petani penggarap yang dianggap sebagai penyerobot kawasan hutan.
“Ya kalau mau kita maju enggak apa-apa. Konflik-konflik beneran. Kasarnya tarung ya tarung beneran, enggak apa-apa. Tapi kan tidak. Kita berusaha mengelola agar tidak konflik,” ujarnya.
Supriarno mengklaim bahwa jumlah petani penggarap di lima titik tersebut mencapai lebih dari 2.000 orang.
Baca juga: Bawaslu Tetapkan KPU Kabupaten Blitar Langgar Administrasi Pemilu 2024
Sementara itu, Administratur Perhutani KPH Blitar Muklisin mengatakan, kawasan hutan di lima titik tersebut bukan merupakan objek reforma agraria yang dapat didistribusikan kepada warga.
Berdasarkan peraturan perundangan dan regulasi yang ada, kata dia, sampai saat ini tidak ada opsi pelepasan lahan hutan untuk didistribusikan ke warga meskipun warga telah melakukan memanfaatkan lahan selama bertahun-tahun untuk usaha pertanian ataupun perkebunan.
Baca juga: Kronologi Siswi SMK di Blitar Tewas Tertabrak KA Gajayana, Sempat Tulis Surat Perpisahan
“Opsi yang ada adalah kerja sama kemitraan seperti yang sudah kami sosialisasikan kepada seluruh LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang ada. Kerja sama melalui skema perhutanan sosial,” ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa malam.
Melalui skema perhutanan sosial, petani penggarap masih dapat memanfaatkan kawasan hutan untuk menanam tebu atau yang lainnya. Hal itu setelah petani menandatangani perjanjian kerja sama dengan Perhutani dan memberikan bagi hasil panen kepada Perhutani.
Di sisi lain, kata Muklisin, kawasan perhutanan sosial juga harus tetap ditanami tanaman perhutanan sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi ekologi dari hutan. Kata dia, setidaknya harus ada 1.000 batang tanaman perhutanan di setiap hektar kawasan perhutanan sosial.
“Caranya bisa dengan selang-seling, sekian meter tanaman tebu dan sekian lanjur tanaman keras hutan,” ujarnya.
Muklisin mengatakan, melalui skema perhutanan sosial, pihaknya menargetkan kawasan hutan gundul di wilayah KPH Blitar seluas lebih dari 10.000 hektar yang kini ditanami tebu itu sudah dapat dihijaukan kembali dengan penanaman tanaman hutan dalam 3 tahun ke depan.
Dari 40 LMDH yang ada, kata Muklisin, sebanyak 33 telah setuju bekerja sama dengan Perhutani KPH Blitar dalam memanfaatkan kawasan hutan produksi yang gundul untuk perkebunan tebu.
“Sudah ada sekitar 7.000 hektar dari total 10.100 hektar kawasan hutan produksi yang ditanami tebu melalui skema perhutanan sosial di mana kami nanti akan menerima bagi hasil dari hasil panennya,” terangnya.
Dia mengakui masih ada sekitar 7 LMDH dengan akses pada 3.000 hektar lahan hutan yang belum bersedia menerima tawaran dari pihaknya.
Perum Perhutani KPH Blitar sebelumnya menyebut bahwa 11.610 hektar dari total 57.334 hektar hutan di wilayah KPH Blitar gundul dan beralih fungsi menjadi perkebunan tebu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas.com, praktik penanaman tebu di hutan gundul yang ada di wilayah kerja KPH Blitar dimulai sekitar tahun 2015.
Jumlah hutan gundul yang ditanami tebu melonjak dalam 4 tahun terakhir sejak beroperasinya pabrik gula PT Rejoso Manis Indo di Desa Rejoso, Kecamatan Binangun, Kabupaten Bliltar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.