Warga tidak menyangka lahar akan meluber karena biasanya lahar dingin hanya mengalir di sungai.
Bulan lalu, banjir lahar dingin juga terjadi dan menimbun dua alat berat, menurut laporan media.
Sepanjang Januari hingga Juli, banjir lahar dingin terus terjadi di Semeru.
Baca juga: Rentetan Bencana di Lumajang, 3 Warga Meninggal, Ribuan Orang Mengungsi
Mirzam menjelaskan hal itu disebabkan karakteristik material letusan dari Gunung Semeru itu sendiri, selain curah hujan yang juga tinggi.
“Karena abu semeru itu, seperti halnya yang ada di Bromo, Raung, ada di Ijen, tipikalnya berat, artinya ketika pertama kali meletus dia tidak terbawa angin jauh.
"Akibatnya ketika dia dikeluarkan, jatuhnya di pusat-pusatnya, di kerucut-kerucutnya, jadi dia numpuk di atas.“
“Karena dia berat, numpuk, maka begitu diguyur air hujan, materialnya banyak sekali yang keluar sekarang,“ papar Mirzam.
Terkait perbedaan debit air saat banjir, kata Mirzam, hal itu dipengaruhi seberapa besar curah hujan dan seberapa banyak material yang terdorong oleh curah hujan itu.
Material yang ada di Gunung Semeru mungkin banyak karena dalam dua tahun belakangan, yaitu 2021 dan 2022, Semeru mengalami erupsi.
Banjir lahar dingin juga akan lebih berbahaya ketika volume banjir lebih besar dari volume sungai.
Saat ini belum ada metode yang bisa memperkirakan kapan banjir lahar akan terjadi setelah hujan mengguyur puncak gunung.
Mirzam mengatakan, mahasiswa ITB masih melakukan penelitian terkait hal itu, termasuk soal curah hujan yang menyebabkannya.
Untuk mencegah jatuhnya korban jiwa, pihak-pihak terkait sebenarnya sudah menandai daerah-daerah yang masuk ke dalam daerah rawan banjir lahar dingin, kata Mirzam.
Oleh sebab itu, dia meminta masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana dan sekitarnya juga aktif untuk mencari informasi dan membaca situasi dan kondisi.
Baca juga: Rentetan Bencana di Lumajang, 3 Warga Meninggal, Ribuan Orang Mengungsi
“Masyarakat tidak perlu panik, tapi harus mulai bisa membaca tanda-tanda alam. Kalau sudah hujan di hulu, warnanya [langit] gelap di kerucut Semeru, hati-hati nih,” ujar Mirzam.
Dia menambahkan, tanda-tanda lainnya juga bisa dilihat dari sampah-sampah yang tersangkut di ranting maupun dahan pohon, yang berasal dari aliran lahar sebelumnya, hingga tanaman yang tumbang di ketinggian tertentu.
Mirzam memahami banyak masyarakat yang enggan direlokasi karena ketergantungan dengan pekerjaan.
Namun, setidaknya mereka harus tahu bagaimana terhindar dari bencana karena keselamatan nyawa adalah hal utama.
“Tidak terlalu dekat tinggal di bantaran sungai, tidak berada di dekat kelokan sungai, kalau berada pun harus tinggal ketinggian dan sebagainya.
"Kalau tidak mau direlokasi ke tempat yang aman, maka carilah daerah yang aman di situ… Pada akhirnya hidup kita harus berharmoni dengan alam,” tandas Mirzam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.