Beruntung mereka sempat menyelamatkan diri.
”Tidak disangka sekitar pukul tujuh pagi itu kami dikasih tahu pak sekdes [sekretaris desa] kalau amak [amplitudo maksimal] banjirnya mencapai 40,” ujarnya.
Amplitudo maksimum adalah besaran rekaman gelombang pada seismograf, yang digunakan untuk mencatat getaran atau gelombang gempa, di Semeru.
Baca juga: UPDATE Banjir di Pronojiwo Lumajang, Warga Bisa Menuju Malang via Jembatan Darurat
Banjir lahar dingin juga melanda Dusun Sumberkajar, Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Lumajang.
Berbeda dengan Dusun Kebondeli Selatan yang masuk ke zona merah rawan bencana, Dusun Sumberkajar yang masuk ke zona pink, juga terdampak banjir lahar kali ini.
Bahkan, lebih dari 80 keluarga dilaporkan terancam banjir susulan karena tanggul Sungai Leprak yang berhulu langsung dari Gunung Semeru telah jebol.
"Takut, kan tanggulnya sudah jebol makanya saya mengungsi di sini," ujar warga bernama Enni.
Enni bersama tetangganya kini tidak berani kembali kerumahnya, hingga ada solusi dari pemerintah.
"Saya menunggu keputusan pemerintah, yang jelas jika tanggulnya masih belum diperbaiki saya tidak berani pulang apalagi saat ini masih terus hujan," pungkasnya.
Banjir lahar dingin Semeru tidak hanya merusak tanggul di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejali, tetapi juga menerjang dua Daerah Aliran Sungai (DAS) lain yang berhulu langsung dari puncak Gunung Semeru, diantaranya DAS Mujur dan DAS Glidik.
Banjir lahar dingin yang menyapu beberapa wilayah di kaki Gunung Semeru terjadi ketika material vulkanik yang berasal dari letusan gunung sebelumnya bercampur dan terbawa oleh air.
Lahar dingin terbentuk ketika material vulkanik itu bercampur dengan air hujan, oleh sebab itu disebut juga dengan lahar hujan.
Ada juga lahar panas atau lahar erupsi, yaitu ketika material vulkanik bercampur dengan air yang ada di danau di kawah. Biasanya banjir lahar ini terjadi bersamaan dengan erupsi gunung berapi.
“Kalau lahar dingin atau lahar hujan sangat jauh sekali beda waktunya, bisa seminggu, bisa sebulan, bisa enam bulan, tergantung kapan airnya datang.
"Makanya lahar dingin atau lahar hujan ini jauh lebih berbahaya karena masyarakat sekitar berpikir aktivitas gunungnya sudah berhenti,” kata pakar vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurachman kepada BBC News Indonesia, Minggu (9/7/2023).
Baca juga: Jembatan Bailey di Lumajang Bisa Tampung Beban Kendaraan hingga 25 Ton
Mirzam menyebutnya sebagai 'bahaya sekunder' gunung berapi dan menurut dia bahaya ini lebih sulit diprediksi kapan datangnya karena 'tidak berkaitan langsung dengan aliran magma' dan dipengaruhi faktor eksternal, dalam hal ini hujan.
“Yang harus jadi catatan buat masyarakat adalah meskipun erupsi semeru sudah berakhir dulu yang letusan besarnya, tapi bahaya sekundernya harus tetap waspada… Daerah-daerah aliran sungai itu akan berpotensi [diterjang] lahar dingin selama musim hujan masih terjadi,” ujarnya memperingatkan.
Banjir lahar dingin di Semeru tidak hanya terjadi pada Jumat (7/7/2023) lalu.
Pada hari Minggu, 2 Juli 2023, beberapa warga dilaporkan tidak bisa pulang ke rumah karena sungai-sungai dipenuhi lahar dingin.
Aktivitas penambangan pasir juga dilaporkan berhenti karena para penambang takut terseret banjir.
Pada Maret lalu, Desa Sumberwuluh juga terkena luberan aliran banjir lahar dingin Semeru.