Salin Artikel

Banjir Lahar Dingin Semeru, Warga: Saya Tidak Berani Pulang...

Ini bukan banjir lahar pertama yang terjadi di Semeru, tapi mengapa kali ini lebih merusak?

Banjir lahar dingin Gunung Semeru terjadi setelah hujan dengan intensitas tinggi mengguyur kawasan itu.

Warga mengatakan banjir lahar dingin yang terjadi Jumat (7/7/2023) lebih besar dibandingkan banjir serupa sebelumnya, sehingga kerusakan yang ditimbulkannya disebutkan lebih parah.

"Banjir lahar yang bulan Februari tidak sebesar ini, karena amplitudo maksimalnya tidak sampai over dan dilereng gunung tidak ada hujan,” kata Samsul Arifin, Sekretaris Desa Sumberwuluh, desa yang terdampak banjir.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang mencatat lima rumah rusak, lima jembatan putus, satu tanggul penahan jebol, dan satu dam jebol setelah diterjang banjir lahar dingin, dan tiga orang meninggal dunia ditimbun longsor akibat dampak cuaca ekstrem.

Sedikitnya1.038 orang dilaporkan telah mengungsi di sekitar 18 titik pengungsian.

Banjir juga tidak hanya menerjang zona merah, tapi juga melebar ke zona pink, kawasan rawan bencana (KRB) 2, yang berpotensi terdampak.

Akibat banjir lahar dingin ini, beberapa orang warga yang terdampak mengaku masih trauma dan belum berani pulang ke rumah.

Sejauh ini Pemerintah Kabupaten Lumajang telah menerapkan status tanggap darurat selama 14 hari.

Ini dilakukan untuk memudahkan upaya penanganan akibat dampak banjir dan potensi banjir susulan yang disebut masih cukup tinggi.

Pemetaan kerusakan infrastruktur vital juga sedang dilakukan bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Bupati Kabupaten Lumajang, Thoriqul Haq, mengatakan pemerintah sudah menyiapkan hunian tetap untuk sebagian warga yang rumahnya masuk ke dalam zona merah rawan bencana, tetapi belum semua warga bersedia untuk pindah.

Thoriq berjanji akan segera melakukan penilaian kembali dan penetapan bagi warga yang belum mendapatkan hunian.

”Yang pasti di seluruh zona merah kita akan pastikan tidak ada lagi [warga] yang berada di tempat yang rawan,” kata Thoriq kepada wartawan Tutus Sugiarto yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (9/7/2023).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi mengatakan, masih ada warga yang menempati rumahnya di zona berbahaya dan dia meminta mereka supaya pindah.

Sebagian warga menolak pindah

Rumah peninggalan orang tua Junaidi (34), warga Dusun Kebondeli Selatan, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang, sudah tak layak huni, karena rumahnya tertimbun material vulkanik saat banjir lahar dingin menerjangnya.

Pihak berwenang mengatakan rumah Junaidi dinyatakan tidak aman karena masuk ke zona merah bencana.

Junaidi dan belasan tetangganya, sudah mendapatkan rumah baru di lokasi relokasi.

Namun, dia dan keluarganya masih menempati rumah di zona berbahaya itu karena alasan pekerjaan.

"Kalau di sana jauh dari ladang, jadi kami memutuskan kembali ke rumah ini saja," kata Junaidi.

Sebelum banjir lahar dingin menerjang rumahnya, Junaidi mengatakan hujan mengguyur wilayahnya selama dua hari berturut-turut.

Dia dan keluarganya tidak menduga kalau banjir besar akan datang karena saat awal kejadian pun mereka masih berteduh di rumahnya.

Beruntung mereka sempat menyelamatkan diri.

”Tidak disangka sekitar pukul tujuh pagi itu kami dikasih tahu pak sekdes [sekretaris desa] kalau amak [amplitudo maksimal] banjirnya mencapai 40,” ujarnya.

Amplitudo maksimum adalah besaran rekaman gelombang pada seismograf, yang digunakan untuk mencatat getaran atau gelombang gempa, di Semeru.

Banjir lahar dingin juga melanda Dusun Sumberkajar, Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Lumajang.

Berbeda dengan Dusun Kebondeli Selatan yang masuk ke zona merah rawan bencana, Dusun Sumberkajar yang masuk ke zona pink, juga terdampak banjir lahar kali ini.

Bahkan, lebih dari 80 keluarga dilaporkan terancam banjir susulan karena tanggul Sungai Leprak yang berhulu langsung dari Gunung Semeru telah jebol.

"Takut, kan tanggulnya sudah jebol makanya saya mengungsi di sini," ujar warga bernama Enni.

Enni bersama tetangganya kini tidak berani kembali kerumahnya, hingga ada solusi dari pemerintah.

"Saya menunggu keputusan pemerintah, yang jelas jika tanggulnya masih belum diperbaiki saya tidak berani pulang apalagi saat ini masih terus hujan," pungkasnya.

Banjir lahar dingin Semeru tidak hanya merusak tanggul di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejali, tetapi juga menerjang dua Daerah Aliran Sungai (DAS) lain yang berhulu langsung dari puncak Gunung Semeru, diantaranya DAS Mujur dan DAS Glidik.

Jauh lebih bahaya

Banjir lahar dingin yang menyapu beberapa wilayah di kaki Gunung Semeru terjadi ketika material vulkanik yang berasal dari letusan gunung sebelumnya bercampur dan terbawa oleh air.

Lahar dingin terbentuk ketika material vulkanik itu bercampur dengan air hujan, oleh sebab itu disebut juga dengan lahar hujan.

Ada juga lahar panas atau lahar erupsi, yaitu ketika material vulkanik bercampur dengan air yang ada di danau di kawah. Biasanya banjir lahar ini terjadi bersamaan dengan erupsi gunung berapi.

“Kalau lahar dingin atau lahar hujan sangat jauh sekali beda waktunya, bisa seminggu, bisa sebulan, bisa enam bulan, tergantung kapan airnya datang.

"Makanya lahar dingin atau lahar hujan ini jauh lebih berbahaya karena masyarakat sekitar berpikir aktivitas gunungnya sudah berhenti,” kata pakar vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurachman kepada BBC News Indonesia, Minggu (9/7/2023).

Mirzam menyebutnya sebagai 'bahaya sekunder' gunung berapi dan menurut dia bahaya ini lebih sulit diprediksi kapan datangnya karena 'tidak berkaitan langsung dengan aliran magma' dan dipengaruhi faktor eksternal, dalam hal ini hujan.

“Yang harus jadi catatan buat masyarakat adalah meskipun erupsi semeru sudah berakhir dulu yang letusan besarnya, tapi bahaya sekundernya harus tetap waspada… Daerah-daerah aliran sungai itu akan berpotensi [diterjang] lahar dingin selama musim hujan masih terjadi,” ujarnya memperingatkan.

Banjir lahar dingin di Semeru tidak hanya terjadi pada Jumat (7/7/2023) lalu.

Pada hari Minggu, 2 Juli 2023, beberapa warga dilaporkan tidak bisa pulang ke rumah karena sungai-sungai dipenuhi lahar dingin.

Aktivitas penambangan pasir juga dilaporkan berhenti karena para penambang takut terseret banjir.

Pada Maret lalu, Desa Sumberwuluh juga terkena luberan aliran banjir lahar dingin Semeru.

Warga tidak menyangka lahar akan meluber karena biasanya lahar dingin hanya mengalir di sungai.

Bulan lalu, banjir lahar dingin juga terjadi dan menimbun dua alat berat, menurut laporan media.

Sepanjang Januari hingga Juli, banjir lahar dingin terus terjadi di Semeru.

Mirzam menjelaskan hal itu disebabkan karakteristik material letusan dari Gunung Semeru itu sendiri, selain curah hujan yang juga tinggi.

“Karena abu semeru itu, seperti halnya yang ada di Bromo, Raung, ada di Ijen, tipikalnya berat, artinya ketika pertama kali meletus dia tidak terbawa angin jauh.

"Akibatnya ketika dia dikeluarkan, jatuhnya di pusat-pusatnya, di kerucut-kerucutnya, jadi dia numpuk di atas.“

“Karena dia berat, numpuk, maka begitu diguyur air hujan, materialnya banyak sekali yang keluar sekarang,“ papar Mirzam.

Terkait perbedaan debit air saat banjir, kata Mirzam, hal itu dipengaruhi seberapa besar curah hujan dan seberapa banyak material yang terdorong oleh curah hujan itu.

Material yang ada di Gunung Semeru mungkin banyak karena dalam dua tahun belakangan, yaitu 2021 dan 2022, Semeru mengalami erupsi.

Banjir lahar dingin juga akan lebih berbahaya ketika volume banjir lebih besar dari volume sungai.

Saat ini belum ada metode yang bisa memperkirakan kapan banjir lahar akan terjadi setelah hujan mengguyur puncak gunung.

Mirzam mengatakan, mahasiswa ITB masih melakukan penelitian terkait hal itu, termasuk soal curah hujan yang menyebabkannya.

Untuk mencegah jatuhnya korban jiwa, pihak-pihak terkait sebenarnya sudah menandai daerah-daerah yang masuk ke dalam daerah rawan banjir lahar dingin, kata Mirzam.

Oleh sebab itu, dia meminta masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana dan sekitarnya juga aktif untuk mencari informasi dan membaca situasi dan kondisi.

“Masyarakat tidak perlu panik, tapi harus mulai bisa membaca tanda-tanda alam. Kalau sudah hujan di hulu, warnanya [langit] gelap di kerucut Semeru, hati-hati nih,” ujar Mirzam.

Dia menambahkan, tanda-tanda lainnya juga bisa dilihat dari sampah-sampah yang tersangkut di ranting maupun dahan pohon, yang berasal dari aliran lahar sebelumnya, hingga tanaman yang tumbang di ketinggian tertentu.

Mirzam memahami banyak masyarakat yang enggan direlokasi karena ketergantungan dengan pekerjaan.

Namun, setidaknya mereka harus tahu bagaimana terhindar dari bencana karena keselamatan nyawa adalah hal utama.

“Tidak terlalu dekat tinggal di bantaran sungai, tidak berada di dekat kelokan sungai, kalau berada pun harus tinggal ketinggian dan sebagainya.

"Kalau tidak mau direlokasi ke tempat yang aman, maka carilah daerah yang aman di situ… Pada akhirnya hidup kita harus berharmoni dengan alam,” tandas Mirzam.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/07/10/130736478/banjir-lahar-dingin-semeru-warga-saya-tidak-berani-pulang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke