Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembantaian Mereka yang Dituding Dukun Santet di Banyuwangi, Keluarga Korban: Ada Tanda Silang dan Bapak Dibunuh

Kompas.com - 22/05/2023, 14:54 WIB
Pythag Kurniati

Editor

Indikasinya, teror pembunuhan ini diawali adanya semacam pembenaran dari masyarakat dengan target awal orang-orang yang dituding sebagai dukun santet.

Dan dalam perkembangannya justru mengarah kepada kalangan guru agama.

Ali menganalisa, rentetan pembunuhan dukun santet ini tidak terlepas pula dari kemunculan NU sebagai kekuatan politik yang baru, dengan lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

"Ini korban NU, pelaku juga warga NU," tandasnya.

Baca juga: Pria di Banyuwangi Bacok Istri dan Anak, lalu Tikam Diri Sendiri

Disebut tak lepas dari kejatuhan Soeharto

Sekitar 16 tahun setelah teror dukun santet, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya menurunkan tim untuk menyelidikinya.

Dirintis sejak 2015, Komnas HAM — dipimpin komisionernya, Beka Ulung Hapsara — secara resmi mulai melakukan penyelidikan kasus ini sejak 2017.

Dan, hasil penyelidikan Beka dkk menyimpulkan diduga "ada aktor yang melakukan propaganda dan penggalangan massa" yang berujung pembantaian.

"Kami bisa mengidentifikasi, [aktor] itu datang dari kelompok yang terorganisir dan terlatih," kata Beka Ulung Hapsara, eks ketua tim penyelidikan kasus ini, kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, awal Maret 2023.

"Dan mereka memahami peta sosiologis yang ada di Banyuwangi dan sekitarnya," jelasnya.

Para aktor intelektual ini mengetahui bahwa dukun santet itu memiliki 'posisi khusus' di masyarakat Banyuwangi. Mereka juga dikenal memiliki 'banyak musuh' di kalangan warga kebanyakan, kata Beka.

Dari dua faktor yang melekat pada dukun santet itulah, demikian temuan Komnas HAM, menjadi bahan bagi "pelaku di lapangan" untuk menghabisi targetnya.

Jumlah korban meninggal dunia di Banyuwangi, Jember, Surabaya, Gresik, Lamongan, dan Malang tercatat 253 orang. Korban terbanyak di Banyuwangi, yaitu sedikitnya 169 orang, menurut polisi.

Baca juga: Kerangka Manusia Ditemukan di Perhutani Banyuwangi

Kesimpulan bahwa teror itu digerakkan oleh 'aktor intelektual', bagaimana pun, tidak terlepas dari kemunculan daftar nama orang-orang yang diidentifikasi sebagai dukun santet oleh Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik.

"Yang lengkap dengan alamat-alamatnya," tambah Beka.

Daftar nama itu dikeluarkan dalam bentuk radiogram — pada 6 Februari 1998 — yang ditujukan kepada aparat pemerintah, mulai camat hingga kepala desa.

Belakangan radiogram itu diklaim untuk melindungi dan mengamankan orang-orang tersebut dari ancaman dibunuh.

Namun yang terjadi, setelah radiogram itu dikeluarkan, terjadi rentetan pembunuhan terhadap sebagian nama yang tertera dalam daftar tersebut.

"Memang betul tujuannya soal keamanan, tapi yang terjadi sebaliknya, bahwa data-data itu digunakan untuk menjadikan mereka sebagai sasaran pembunuhan," jelas Beka, yang menjadi anggota komisioner Komnas HAM (2017-2022).

Temuan Komnas menyimpulkan, radiogram itu "bocor" dan digunakan oleh kelompok "terorganisir dan terlatih" untuk tujuan berbeda.

"[Data itu] menjadi salah-satu rujukan dalam menetapkan target korban," demikian temuan penyelidikan Komnas HAM, seperti tercantum dalam ringkasan laporannya.

Dalam temuannya, Komnas HAM tak menyebut secara detail siapa kelompok terorganisir itu.

Hanya saja, demikian temuan penyelidikan Beka dkk, aparat keamanan — TNI dan polisi — lambat dalam melakukan tindakan.

Apakah kelambatan aparat itu akibat situasi dan kondisi atau suatu kesengajaan?

"Ada faktor kesengajaan, pembiaran. Kalau faktor teknis, saya kira tidak, karena rentang waktunya terlalu lama untuk sebuah ketidaksengajaan," demikian jawaban Beka.

Temuan Komnas HAM menyimpulkan, aparat sudah mengetahui situasi, tetapi tidak mengambil tindakan atau terlambat.

Ditemukan pula bahwa aparat sudah menerima laporan, tetapi tidak bereaksi atau terlambat.

Atau, aparat sudah menerima laporan, namun tidak mengambil tindakan yang efektif.

Seharusnya, lanjutnya, pimpinan aparat keamanan dapat melakukan perintah komando yang cepat.

"Baik dari analisa intelijen maupun analisa bantuan pasukannya," tambahnya. "Sayangnya, itu tidak dilakukan."

Temuan penyelidikan Komnas HAM yang menyebut aparat keamanan 'sengaja' bersikap 'lambat' ini tidak pernah terklarifikasi oleh otoritas terkait, karena Kejaksaan Agung — sebagai penyidik — tidak pernah menindaklanjutinya.

Alasan yang sering muncul di media, Kejaksaan Agung menganggap hasil penyelidikan Komnas HAM itu tidak memenuhi "syarat formil-materiil" dan "tidak cukup bukti".

Pada 2015, saat memulai penyelidikan kasus pembunuhan dukun santet, Komnas HAM mengaku kesulitan untuk mengakses informasi terkait aspek teknis hukum kepada otoritas kepolisian dan TNI.

Walaupun kesimpulan penyelidikan Komnas HAM tidak menyentuh aspek konteks sosial politik saat itu, namun menurut Beka, kasus ini "tidak terlepas dari kejatuhan Suharto dari kursi presiden" pada Mei 1998.

"Itu membawa dampak yang sangat besar," ujarnya.

Situasi politik lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari tragedi di Banyuwangi itu yaitu "Jawa Timur adalah barometer politik saat itu."

"Di mana kekuatan politik kaum Nadhliyin [di Jatim] itu besar, sehingga dianggap perlu ada peristiwa-peristiwa seperti dukun santet, ninja, dan lain-lain, sebagai bagian suatu operasi politik," jelas Beka.

Beka kemudian menyontohkan kasus pembakaran gereja di Situbondo — basis massa NU dan letaknya tidak jauh dari Banyuwangi — yang terjadi sekitar setahun sebelum teror dukun santet.

Baca juga: Kecelakaan Maut di Banyuwangi, Libatkan Truk dan 2 Motor, 1 Orang Tewas

Pola

Hasil penyelidikan Komnas HAM juga mengungkapkan bahwa rentetan pembunuhan di beberapa kota di Jawa Timur itu memiliki pola yang memiliki "unsur yang sama".

Di sinilah, Komnas HAM kemudian menyimpulkan teror pembunuhan lebih dari 250 orang itu sebagai pelanggaran HAM berat.

Dalam ringkasan laporannya, pola itu diawali pra kejadian yaitu adanya isu etnis Tionghoa, radiogram bupati Banyuwangi, dan isu TNI masuk desa.

Terkait kehadiran sekelompok orang dalam teror pembantaian, yang menggunakan pola yang sama, yaitu berupa mematikan listrik, penggunaan tali dalam aksinya, dan adanya pihak yang menggerakkannya.

Unsur lainnya adalah kehadiran orang asing. Di sini ditemukan kemunculan orang-orang yang bukan dari wilayah kejadian, yang terlihat dari bahasanya.

Lainnya, ada penggunaan tanda berupa silang dan panah di rumah-rumah yang menjadi target.

Yang terakhir, soal eskalasi, yang disebutkan adanya peningkatan dalam peristiwa kekerasan itu.

"Yang semula isu pembunuhan dukun santet, kemudian bermunculan ninja dan kemunculan orang gila [atau gangguan jiwa]," kata Beka Ulung.

Pada 2018, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan ini ke Kejaksaan Agung agar ditindaklanjuti. Namun sejauh ini belum ada tindaklanjutnya.

Dan di tengah kebuntuan penyelesaian yudisial kasus dukun santet, Presiden Joko Widodo menempuh langkah non-yudisial untuk menyelesaikan kasus tersebut dan belasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya.

Di sinilah, eks ketua tim penyelidikan kasus pembunuhan dukun santet (1998-1999), Beka Ulung Hapsara, mengatakan, negara harus dapat memutus "mata rantai dendam" dan "stigmatisasi" kepada keluarga korban dan masyarakat.

"Supaya mereka juga paham dan tidak kembali menjadi korban," kata Beka.

Negara juga harus memiliki langkah nyata untuk memulihkan hak-hak korban baik secara ekonomi, sosial, hingga psikologis, tambahnya.

"Ini momentum yang tepat bagi korban dan keluarganya untuk menyampaikan semua kebutuhan dan kondisi saat ini, dan negara menjawabnya dengan langkah kongkrit," ujar Beka.

Untuk itulah, korban dan keluarganya bisa datang ke perwakilan pemerintah setempat atau tim pendamping seperti dari NU atau LSM.

Baca juga: Penumpang Travel di Banyuwangi Loncat dari Mobil, Disebut Seperti Sedang Kesurupan

"Atau bisa juga datang ke Komnas HAM atau berkirim surat ke Komnas HAM minta didata sebagai korban pelanggaran HAM kasus dukun santet," jelas Beka.

Dari sana, Komnas HAM akan melakukan verifikasi dan mengirimkannya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Dari LPSK dilakukan upaya, apakah bisa langsung atau melalui mekanisme PPHAM (Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu)," ujarnya.

Beka mengakui upaya itu tidak mudah karena korban dan keluarganya masih terstigma sebagai dukun santet.

Namun menurutnya, kendala itu seharusnya bisa ditangani oleh pemerintah Banyuwangi dan kota lainnya dengan "berperan aktif".

"Yaitu bisa memastikan bahwa yang dilakukan para korban adalah dalam rangka pemulihan hak-hak mereka," tegasnya.

Tentang pentingnya dilakukan upaya rekonsiliasi di masyarakat, Beka meyakini rekonsiliasi kultural sudah terjadi.

Tapi, demikian Beka, rekonsiliasi seperti itu perlu diformalkan sebagai langkah resmi negara yang mendesak segera dilakukan.

"Apalagi sekarang tahun politik, jangan sampai isu-isu kemanusiaan digunakan lagi sebagai isu politik, yang kemudian malah mengaburkan jalan keluarnya," tandas Beka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Remaja di Tuban Gemar Lecehkan Payudara di Jalanan untuk Fantasi Seks

Remaja di Tuban Gemar Lecehkan Payudara di Jalanan untuk Fantasi Seks

Surabaya
Perempuan di Surabaya Tertabrak Kereta Usai Kunjungi Tetangga

Perempuan di Surabaya Tertabrak Kereta Usai Kunjungi Tetangga

Surabaya
Teten Masduki Dorong PLUT di Seluruh Indonesia Lebih Produktif

Teten Masduki Dorong PLUT di Seluruh Indonesia Lebih Produktif

Surabaya
Sepeda Motor Korban Tawuran hingga Tewas di Surabaya Hilang

Sepeda Motor Korban Tawuran hingga Tewas di Surabaya Hilang

Surabaya
Kecelakaan Lalu Lintas, Pengendara Motor di Bojonegoro Tewas Tertimpa Truk Boks

Kecelakaan Lalu Lintas, Pengendara Motor di Bojonegoro Tewas Tertimpa Truk Boks

Surabaya
Pengusaha Warung Madura Protes Imbauan Kemenkop-UKM soal Jam Operasional: Jangan Matikan Usaha Kami

Pengusaha Warung Madura Protes Imbauan Kemenkop-UKM soal Jam Operasional: Jangan Matikan Usaha Kami

Surabaya
Aksi Pengeroyokan Terjadi di Kota Malang, Motifnya Tak Jelas

Aksi Pengeroyokan Terjadi di Kota Malang, Motifnya Tak Jelas

Surabaya
Nenek di Bojonegoro Ditemukan Meninggal, Anjing Peliharaannya Setia Menjaga

Nenek di Bojonegoro Ditemukan Meninggal, Anjing Peliharaannya Setia Menjaga

Surabaya
Polemik Imbauan Jam Operasional Warung Madura, Sosiolog Universitas Trunojoyo: Tidak Adil

Polemik Imbauan Jam Operasional Warung Madura, Sosiolog Universitas Trunojoyo: Tidak Adil

Surabaya
Mahasiswa di Kota Malang Curi Laptop dan HP Milik Teman Kontrakannya

Mahasiswa di Kota Malang Curi Laptop dan HP Milik Teman Kontrakannya

Surabaya
Gembiranya Warga Tulungagung Usai Timnas Menang dari Korsel, Ceburkan Diri ke Kolam

Gembiranya Warga Tulungagung Usai Timnas Menang dari Korsel, Ceburkan Diri ke Kolam

Surabaya
Cerita Penghulu di Lumajang Seberangi Banjir Lahar Semeru demi Nikahkan Warga: Saya Doa Terus

Cerita Penghulu di Lumajang Seberangi Banjir Lahar Semeru demi Nikahkan Warga: Saya Doa Terus

Surabaya
Cekcok Urusan Cucu dan Arisan, Kakek 64 Tahun di Tuban Bunuh Istrinya lalu Coba Akhiri Hidup

Cekcok Urusan Cucu dan Arisan, Kakek 64 Tahun di Tuban Bunuh Istrinya lalu Coba Akhiri Hidup

Surabaya
Kesaksian Pedagang soal Tawuran Tewaskan 1 Pemuda di Wonokusumo: 100-an Remaja Bawa Senjata

Kesaksian Pedagang soal Tawuran Tewaskan 1 Pemuda di Wonokusumo: 100-an Remaja Bawa Senjata

Surabaya
Setor Rp 65 Juta demi Dipekerjakan ke Inggris, Warga Madiun Diduga Ditipu dan Lapor Polisi

Setor Rp 65 Juta demi Dipekerjakan ke Inggris, Warga Madiun Diduga Ditipu dan Lapor Polisi

Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com