Salin Artikel

Pembantaian Mereka yang Dituding Dukun Santet di Banyuwangi, Keluarga Korban: Ada Tanda Silang dan Bapak Dibunuh

Keluarga korban masih dihantui trauma dan stigma di tengah janji pemerintah untuk memulihkannya.

Tragedi itu terjadi antara Februari 1998 hingga Oktober 1999, ketika Indonesia mulai dihantam krisis ekonomi dan politik yang ditandai merebaknya kerusuhan sosial dan jatuhnya Suharto dari kursi presiden.

Awalnya yang menjadi sasaran pembunuhan adalah orang-orang yang dituduh memiliki ilmu hitam untuk tujuan tidak baik-disederhanakan sebagai dukun santet oleh warga setempat dan sebagian masyarakat.

Dan ketika jumlah orang-orang tidak bersalah yang dihabisi terus bertambah, sasaran pun meluas. Tak hanya orang-orang yang dituding dukun santet saja.

Orang-orang yang disebut sebagai guru agama, pengidap gangguan mental, serta orang-orang sipil biasa, ikut dibunuh dengan kejam.

Teror pembantaian yang diawali di Banyuwangi lalu menyebar ke Jember, Bondowoso, Situbondo, Pasuruan, Malang, hingga Pulau Madura.

Ketakutan, ketegangan, kepanikan, dan saling curiga yang makin meluas di masyarakat, melahirkan berbagai isu menyeramkan, demikian berbagai laporan media kala itu.

Pemberitaan media massa saat itu menyebut kehadiran para terduga pelaku yang digambarkan 'terlatih', 'bergerak cepat', 'dapat menghilang', serta mirip 'ninja'.

Dan, ketika gonjang-ganjing politik di tingkat nasional belum sepenuhnya normal, sebagian tersangka pelaku pembunuhan di lapangan, terutama di wilayah Banyuwangi, diadili dan dijatuhi hukuman pidana.

Namun upaya hukum ini disebut tidak menyentuh teka-teki yang menjadi pertanyaan di masyarakat, yaitu siapa aktor utama di baliknya.

Suara-suara yang menuntut agar motif besar di balik teror rentetan pembunuhan ini diselidiki terus disuarakan, tapi agaknya terhambat kendala politik dan teknis hukum.

Dihadapkan teka-teki tak terjawab itulah, barulah pada 2015, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) — sesuai amanat UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM — memulai melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan ini.

Komnas HAM, dalam kesimpulan penyelidikannya, menyatakan ada terduga aktor yang melakukan propaganda, penggalangan untuk menggerakkan massa untuk membunuh.

Mereka juga menemukan adanya pola. Diawali prakondisi, terungkap adanya 'pendataan' yang menghasilkan 'daftar nama', sehingga membuat eskalasi dan keresahan masyarakat.

Pada 2019, hasil penyelidikan Komnas HAM ini diserahkan ke Kejaksaan Agung agar ditindaklanjuti, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan berbagai alasan — misalnya, kelemahan bukti-bukti dan saksi.

Sebelumnya, tidak lama setelah kejadian, Tim investigasi Nahdlatul Ulama (NU) cabang Banyuwangi juga mengumumkan hasil penyelidikannya yang menyimpulkan adanya dugaan keterlibatan aparat keamanan.

Walaupun ada gelombang desakan dari berbagai kalangan agar peristiwa itu diungkap, barulah pada awal 2023, pemerintah menawarkan penyelesaian secara non-yudisial — walau tidak menutup proses penyelesaian secara yudisial.

Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo — atas nama negara — mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kejadian kekerasan di Banyuwangi dan sekitarnya itu.

Sikap pemerintah ini menindaklanjuti laporan Tim Penyelesaian Non yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu —yang sebelumnya dibentuk Presiden Jokowi melalui Keppres No.17 Tahun 2022.

Pemerintah kemudian berjanji menyelesaikan secara non-yudisial kasus-kasus itu, antara lain, dengan merehabilitasi dan memulihkan korban dan keluarganya.

Sampai awal Mei 2023, janji pemerintah itu belum menemukan bentuk kongkritnya, kecuali menyatakan bahwa kebijakan itu akan resmi diluncurkan pada Juni 2023.

Bagaimana reaksi dan tanggapan keluarga korban yang anggota keluarganya dulu dibunuh karena dituduh sebagai dukun santet atas kebijakan pemerintah itu?

Apa yang mereka saksikan, dan bagaimana mereka melalui tragedi itu selama lebih dari 20 tahun?

Wartawan di Banyuwangi, Ahmad Shulhan Hadi, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, menemui dan mewawancarai dua orang dari keluarga korban pembunuhan dukun santet 1998-1999.

Shulhan juga mewawancarai seseorang yang dulu terlibat tim investigasi Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi dalam menyelidiki tragedi ini.

Di teras rumah adiknya yang bersebelahan dengan rumah orang tuanya, Sari — bukan nama sebenarnya — untuk pertama kalinya membuka kepada publik tentang peristiwa kelam yang menimpa ayahnya.

Kondisi rumah orang tuanya tak banyak berubah dalam 20 tahun terakhir, termasuk hamparan kebun di depan bangunan rumah, tempat ayahnya dulu dibunuh secara keji.

Satu-satunya yang berbeda, di lokasi itu kini tumbuh lebat semak-semak. Pohon kelapa yang menjulang tinggi juga semakin banyak.

"Di situ, kepala ayah saya [ditemukan] hancur," Sari menggambarkan kondisi ayahnya ketika ditemukan dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Suaranya terdengar lirih.

Semula tidak gampang untuk meyakinkan keluarga Sari untuk mengisahkan ulang peristiwa kematian ayahnya.

Sari dan saudara-saudaranya sempat berbeda pendapat. Mereka khawatir pengungkapan peristiwa pahit itu hanya membuka luka lama yang sudah mereka pendam dalam-dalam.

Alasan lainnya, jika itu dibuka lagi, akan mengusik apa yang mereka sebut sebagai kedamaian yang sudah mereka rajut.

Namun Sari, salah satu anak korban, akhirnya mau membuka diri. Asal saja, identitasnya tidak diungkap.

Dia lalu membuka cerita kelam itu. Saat kejadian dia tinggal di rumah salah satu kerabatnya di luar Jawa.

Sang Ibu yang kemudian mengisahkan ulang apa yang terjadi pada malam itu kepadanya.

Di malam jahanam itu, hanya ada ayah dan ibu serta adiknya di rumah. Mereka tinggal di salah-satu desa di Banyuwangi, Jawa Timur.

Tidak berusaha mengingat lagi kapan tanggal kejadiannya, menurut cerita ibunya, ayahnya dibunuh sekitar pukul 10 malam.

"Saat itu ayah habis salat isya berjamaah di rumah," ungkapnya. Usai salat, sang ibu menyiapkan sayur mayur yang akan dijual keesokan harinya di pasar.

Namun malam itu listrik di rumah tiba-tiba padam. Ayahnya pun keluar rumah untuk mengecek meteran listrik yang dititipkan di rumah tetangga.

Kejadian mati lampu ini berlangsung tiga kali. Dan malam itu, ibunya melihat ada keanehan.

Ada seorang pria berdiri di kebun di dekat rumahnya saat ayahnya menghidupkan meteran.

"Ibu sempat curiga, orang itu lalu ditanya dan dia bilang sedang mencari ayam, ternyata ngasih tanda silang," ungkap Sari.

Ketika menjelaskan hal itu, Sari menunjuk satu pohon kelapa yang terdapat bekas goresan tanda silang yang mulai memudar.

Belakangan hasil penyelidikan Komnas HAM menyebut tanda silang itu merupakan lokasi kediaman orang yang harus dihabisi.

Kecurigaan itu terjawab ketika lampu padam ketiga kalinya. Ketika ayahnya hendak menghidupkan lampu, dia dikeroyok oleh sejumlah orang. Lalu terdengar jeritan dan teriakan.

Dari dalam rumah, ibu Sari mendengar ayahnya menanyakan identitas pelaku. Tapi lantaran dicekam ketakutan luar biasa, ibu dan adiknya memilih tidak keluar dari rumah.

Keesokan harinya, jasad sang ayah ditemukan meninggal dunia dan tergeletak dalam kondisi mengenaskan di kebun.

"Ibu kami tidak berani keluar rumah sampai pagi hari, panik, kakinya lemas," ungkap Sari.

Peristiwa keji ini membuat sang ibu dan anak-anaknya syok, marah dan larut dalam kesedihan mendalam.

Mereka tidak tahu alasan kenapa ayahnya dibunuh, sampai akhirnya ada informasi yang menyebut bahwa ayahnya adalah sosok dukun santet yang harus dihabisi.

Tuduhan itu sangat menyakitkan bagi Sari dan keluarga. Meski bukan istilah baru, cap seperti itu sangat asing bagi keluarga maupun lingkungannya.

"Sebelum ayah meninggal, tidak ada sebutan itu [dukun] santet," jelasnya. Sari menyebut almarhum rajin beribadah dan baik hati.

Tapi fitnah terhadap ayahnya itu terus dihidup-hidupkan, seolah-olah dia layak dibunuh karena cap sebagai tukang santet. Inilah yang membuat Sari geram — sampai sekarang.

Dari cerita ibunya, hanya ada satu perseteruan mendiang ayahnya dengan temannya yang terjadi di masjid. Namun itu sama sekali tak terkait santet.

Dia menyebut ayahnya cukup agamis untuk ukuran orang-orang desa kebanyakan. "Bapakku ini pengurus Nahdlatul Ulama (NU)," kata Sari.

Sepengetahuannya, sehari-hari ayahnya tidak menunjukkan kebiasaan aneh yang mengarah sebagai apa yang disebut sebagai 'tukang santet'.

Rumahnya, yang berjarak tak jauh dari masjid, juga bebas dimasuki teman-teman sebayanya, katanya.

Apabila orang tuanya memiliki ilmu hitam, tentu ada bagian di dalam rumah yang dirahasiakan, dan tidak semua orang boleh masuk, ia mengemukakan logika.

Setelah dua dekade berlalu, apa yang melatari peristiwa pembunuhan ayahnya masih menyisakan trauma, karena tuduhan yang diarahkan kepada mendiang ayahnya itu.

Sari dan keluarganya mengaku stigma cap dukun santet itu tak kunjung hilang.

Inilah yang memupuk rasa sakit yang tak kunjung sembuh, walau dia dan saudara-saudaranya berusaha untuk mengenyahkannya.

Dari cerita ibunya, sejak pembunuhan sadis ayahnya, kondisi keluarga berubah drastis. Rasa sedih, marah, rendah diri dan kecewa pun berkecamuk menjadi satu selama bertahun-tahun.

Terlebih, demikian penilaian Sari, pemerintah dianggapnya seperti abai dengan apa yang mereka alami.

Bahkan, dia memiliki kesan, otoritas hukum saat itu membiarkan apa yang disebutnya sebagai pelaku, "bebas berkeliaran".

Aparat keamanan yang seharusnya menyelidiki kematian ayahnya dianggapnya tidak pernah terjadi.

"Kalau menyalahkan, ya, menyalahkan pemerintah kenapa tidak diusut sampai tuntas," kata Sari.

Di tengah kenyataan seperti itulah, Sari, ibunya, serta saudara-saudaranya selama lebih dari 20 tahun berjibaku untuk berdamai dengan kenyataan — tanpa kehadiran pemerintah.

Ketika Presiden Joko Widodo akhirnya berinisiatif mengakui, menyesalkan dan berjanji memberikan rehabilitasi kepada korban kasus dukun santet dan 11 kasus pelanggaran HAM berat lainnya di masa lalu, Sari mengaku "ketidakpuasan itu belum sepenuhnya tergantikan".

Namun di sisi lain, Sari masih menaruh harapan, keputusan pemerintah itu dapat mengembalikan nama baik sang ayah — yang selama ini ternodai stigma dukun santet — bisa dibersihkan, seperti sedia kala.

"Enggak puas saya," ujarnya, namun dia berharap, keputusan pemerintah itu, "minimal nama baik [ayahnya] dipulihkan."

Ditemui di rumahnya di Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, Dedy Sumardi (52), tidak dapat melupakan peristiwa pembunuhan ayahnya.

"Kejadiannya itu hari Minggu sekitar pukul 09.00," ungkap Dedy. Dia mengaku tidak mau mengingat lagi kapan persisnya tragedi itu.

Irsyad, nama ayahnya, tewas mengenaskan setelah dibantai sekelompok orang yang disebutnya dari "luar daerah".

Ayahnya dihabisi di jalanan sawah yang menghubungkan dua desa, tidak jauh dari rumahnya, karena dituduh dukun santet.

Kejadian ini disebutnya sangat ironis, karena setiap malam ayahnya ikut melakukan upaya pengamanan bersama warga lainnya.

Saat itu beredar isu santer di masyarakat tentang kehadiran orang-orang mirip 'ninja' yang menargetkan membunuh warga setempat.

Tapi, tanpa pernah dia duga sebelumnya, ayahnya sendiri yang justru menjadi sasaran pembunuhan sekelompok orang.

Dedy tidak berada di rumah saat kejadian. Dia tidur di rumah kawannya setelah semalaman ikut ronda.

Informasi kematian ayahnya dia dapatkan dari seorang anggota polisi. Di lokasi kejadian, ayahnya tergeletak mati dengan bersimbah darah.

Luka sabetan senjata tajam nyaris memisahkan kepala dengan badannya. Kejadian itu, tentu saja, membuat keluarga syok.

Dia meyakini pembunuhan ayahnya telah direncanakan jauh-jauh hari oleh sekelompok orang.

Beberapa hari sebelum kejadian, ada sejumlah orang yang memberi tahu dirinya agar ayahnya diungsikan sementara ke lokasi yang lebih aman.

Namun Dedy dan ayahnya menolak. Jika mereka mengikuti informasi tersebut, ungkapnya, itu seperti membenarkan tuduhan itu.

Pada tahap ini, Dedy menyayangkan aparat kepolisian tidak mengendus ancaman itu dan tidak melakukan upaya pencegahan.

Dia tidak menampik saat itu beredar tuduhan mengada-ada bahwa ayahnya adalah dukun santet. Sebuah tudingan yang sama sekali tidak benar.

Terlebih isu tersebut selama ini sama sekali tidak terdengar di lingkungannya.

"Kalau bapak saya tukang santet, kenapa banyak yang datang untuk mengaji," katanya.

Dalam keseharian, aktivitas orang tuanya juga normal-normal saja. Ayahnya bekerja menarik becak dan menyewakannya.

Mendiang ayahnya juga aktif di masjid yang berada di dekat rumahnya. "Ayah saya itu orang baik, kabar [dukun santet] itu fitnah," tegasnya berulang-ulang.

Alasan di balik pembunuhan ayahnya telah melukai istri dan anak-anaknya. Kesedihan yang berlarut-larut memicu salah seorang saudaranya sempat jatuh sakit.

Dedy mengaku sudah mengetahui bahwa sejumlah pelaku dalam peristiwa pembunuhan dukun santet telah ditangkap dan diadili.

Namun dirinya mengatakan tidak pernah dimintai keterangan polisi tentang kematian ayahnya.

Belakangan dia mengetahui ada beberapa kali panggilan persidangan kepadanya, namun tidak pernah sampai kepada dirinya.

Di sinilah, Dedy menduga, upaya hukum untuk mengungkap rentetan pembunuhan dukun santet di Banyuwangi "seperti diatur sedemikian rupa".

Menurutnya, pelaku yang menghabisi ayahnya hanya "orang suruhan".

"Yang dipenjara anak buah, bukan pentolan," katanya, lantang. Dia menilai ini bukti bahwa pemerintah tidak serius menuntaskan kasus ini.

Puluhan tahun kemudian, Dedy mengaku tidak menyisakan dendam kepada pelaku lapangan yang menghabisi ayahnya.

Tanpa menunggu permintaan maaf dari para pelaku, dia dan keluarga sudah mencoba memaafkannya. "Ini sesuai ajaran Islam yang saya anut."

Dia lantas bercerita, orang-orang yang disebutnya sebagai pelaku di lapangan sudah menerima balasan dari Tuhan, tidak lama setelah peristiwa itu.

"Gusti Allah kasih keadilan, [para terduga pelaku kemudian mengalami] sakit-sakit," ujar Dedy.

Dimintai tanggapan atas langkah pemerintah yang sudah mengakui dan menyesalkan peristiwa pembunuhan dukun santet (1998-1999 di Banyuwangi dan sekitarnya), serta berjanji merehabilitasi dan memulihkan korban dan keluarganya, dia mengaku tidak banyak meminta atau mengajukan tuntutan.

Alasannya, keluarganya sekarang "sudah tenang", walaupun mereka masih mengalami trauma dan terstigma akibat cap dukun santet kepada ayahnya.

Jika ada upaya hukum, Dedy juga mengaku tak terlalu bersemangat. Dia mengaku sudah berdamai dengan keadaan.

Lagipula, orang-orang yang disebutnya sebagai pelaku pembunuhan ayahnya, sudah meninggal dunia.

"Coba jika pentolan [di balik pembunuhan ayahnya] masih hidup, saya ada niat untuk lapor," tandas Dedy.

Dugaan campur tangan pihak lain

Desas-desus adanya 'pengkondisian' serta dugaan keterlibatan 'pihak ketiga' dalam peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999 dikuatkan oleh hasil kesimpulan penyelidikan Tim Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Banyuwangi.

Tim ini dibentuk dan bekerja tidak lama setelah rentetan pembunuhan dukun santet, guru agama dan warga sipil di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1998-1999.

Salah satu anggota tim investigasi NU, Ali Maki Syamwiel, mengatakan rentetan pembunuhan itu mengarah pada dugaan "campur tangan kelompok" dari rezim yang berkuasa saat itu.

"Itu kerjaannya pemerintah pusat. Itu kan zaman Pak Harto," kata Ali Maki kepada wartawan di Banyuwangi, Ahmad Shulhan Hadi, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pekan ketiga Februari 2023.

Tim investigasi NU menyimpulkan, dari hasil pengumpulan informasi di lapangan, mereka meyakini kejadian ini melibatkan institusi TNI, secara langsung maupun tidak langsung.

Para aktor ini memunculkan isu macam-macam dengan memanfaatkan kondisi kultural masyarakat Banyuwangi.

"Itu ada rapatnya, algojo, ada latihannya juga," ungkapnya, tanpa merinci lebih lanjut.

Maki mengungkapkan pihaknya memiliki bukti yang disebutnya "cukup kuat" tentang dugaan keterlibatan aparat.

Di lapangan, sebelum aksi pembantaian, terjadi apa yang disebut Ali Maki sebagai "rapat koordinasi dengan pembagian peran masing-masing".

Ironisnya, oknum yang mengatur perencanaan tindakan keji ini menghilang saat peristiwa berlangsung, sehingga menyisakan warga setempat atau warga sipil dari daerah lain.

"Ada itu briefing-nya," jelasnya.

Selain itu, pernyataan sejumlah orang yang memiliki kewenangan baik di tingkat daerah maupun pusat terkesan meremehkan kejadian di lapangan.

Akibatnya, dampak teror yang dirasakan saat itu benar-benar sangat merugikan masyarakat di bawah, katanya. Masyarakat yang "semula santai, tiba-tiba saling curiga".

Korban tewas pun berjatuhan, tidak hanya akibat dibunuh, tapi juga ada orang-orang yang diisukan menjadi target pembunuhan, memilih untuk bunuh diri.

Tim investigasi NU Banyuwangi mencatat, selama Februari 1998 hingga November 1998, setidaknya 128 nyawa melayang di Banyuwangi.

Rinciannya, 117 orang mati dibunuh dan, sisanya, 11 orang memilih gantung diri.

Selain itu, tercatat 42 orang lolos dari serangan dan tiga orang mengalami luka berat serta enam lainnya luka ringan.

"Sebanyak 93 orang yang tewas dan 11 gantung diri, semuanya warga NU," ungkapnya.

Kejadian teror ini, demikian kesimpulan tim NU, menciptakan suasana "ketidakpastian di tengah masyarakat".

Ali Maki juga meyakini teror itu menargetkan warga nahdliyin, dengan cara membenturkan sesama warga sipil di akar rumput.

Indikasinya, teror pembunuhan ini diawali adanya semacam pembenaran dari masyarakat dengan target awal orang-orang yang dituding sebagai dukun santet.

Dan dalam perkembangannya justru mengarah kepada kalangan guru agama.

Ali menganalisa, rentetan pembunuhan dukun santet ini tidak terlepas pula dari kemunculan NU sebagai kekuatan politik yang baru, dengan lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

"Ini korban NU, pelaku juga warga NU," tandasnya.

Disebut tak lepas dari kejatuhan Soeharto

Sekitar 16 tahun setelah teror dukun santet, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya menurunkan tim untuk menyelidikinya.

Dirintis sejak 2015, Komnas HAM — dipimpin komisionernya, Beka Ulung Hapsara — secara resmi mulai melakukan penyelidikan kasus ini sejak 2017.

Dan, hasil penyelidikan Beka dkk menyimpulkan diduga "ada aktor yang melakukan propaganda dan penggalangan massa" yang berujung pembantaian.

"Kami bisa mengidentifikasi, [aktor] itu datang dari kelompok yang terorganisir dan terlatih," kata Beka Ulung Hapsara, eks ketua tim penyelidikan kasus ini, kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, awal Maret 2023.

"Dan mereka memahami peta sosiologis yang ada di Banyuwangi dan sekitarnya," jelasnya.

Para aktor intelektual ini mengetahui bahwa dukun santet itu memiliki 'posisi khusus' di masyarakat Banyuwangi. Mereka juga dikenal memiliki 'banyak musuh' di kalangan warga kebanyakan, kata Beka.

Dari dua faktor yang melekat pada dukun santet itulah, demikian temuan Komnas HAM, menjadi bahan bagi "pelaku di lapangan" untuk menghabisi targetnya.

Jumlah korban meninggal dunia di Banyuwangi, Jember, Surabaya, Gresik, Lamongan, dan Malang tercatat 253 orang. Korban terbanyak di Banyuwangi, yaitu sedikitnya 169 orang, menurut polisi.

Kesimpulan bahwa teror itu digerakkan oleh 'aktor intelektual', bagaimana pun, tidak terlepas dari kemunculan daftar nama orang-orang yang diidentifikasi sebagai dukun santet oleh Bupati Banyuwangi saat itu, Purnomo Sidik.

"Yang lengkap dengan alamat-alamatnya," tambah Beka.

Daftar nama itu dikeluarkan dalam bentuk radiogram — pada 6 Februari 1998 — yang ditujukan kepada aparat pemerintah, mulai camat hingga kepala desa.

Belakangan radiogram itu diklaim untuk melindungi dan mengamankan orang-orang tersebut dari ancaman dibunuh.

Namun yang terjadi, setelah radiogram itu dikeluarkan, terjadi rentetan pembunuhan terhadap sebagian nama yang tertera dalam daftar tersebut.

"Memang betul tujuannya soal keamanan, tapi yang terjadi sebaliknya, bahwa data-data itu digunakan untuk menjadikan mereka sebagai sasaran pembunuhan," jelas Beka, yang menjadi anggota komisioner Komnas HAM (2017-2022).

Temuan Komnas menyimpulkan, radiogram itu "bocor" dan digunakan oleh kelompok "terorganisir dan terlatih" untuk tujuan berbeda.

"[Data itu] menjadi salah-satu rujukan dalam menetapkan target korban," demikian temuan penyelidikan Komnas HAM, seperti tercantum dalam ringkasan laporannya.

Dalam temuannya, Komnas HAM tak menyebut secara detail siapa kelompok terorganisir itu.

Hanya saja, demikian temuan penyelidikan Beka dkk, aparat keamanan — TNI dan polisi — lambat dalam melakukan tindakan.

Apakah kelambatan aparat itu akibat situasi dan kondisi atau suatu kesengajaan?

"Ada faktor kesengajaan, pembiaran. Kalau faktor teknis, saya kira tidak, karena rentang waktunya terlalu lama untuk sebuah ketidaksengajaan," demikian jawaban Beka.

Temuan Komnas HAM menyimpulkan, aparat sudah mengetahui situasi, tetapi tidak mengambil tindakan atau terlambat.

Ditemukan pula bahwa aparat sudah menerima laporan, tetapi tidak bereaksi atau terlambat.

Atau, aparat sudah menerima laporan, namun tidak mengambil tindakan yang efektif.

Seharusnya, lanjutnya, pimpinan aparat keamanan dapat melakukan perintah komando yang cepat.

"Baik dari analisa intelijen maupun analisa bantuan pasukannya," tambahnya. "Sayangnya, itu tidak dilakukan."

Temuan penyelidikan Komnas HAM yang menyebut aparat keamanan 'sengaja' bersikap 'lambat' ini tidak pernah terklarifikasi oleh otoritas terkait, karena Kejaksaan Agung — sebagai penyidik — tidak pernah menindaklanjutinya.

Alasan yang sering muncul di media, Kejaksaan Agung menganggap hasil penyelidikan Komnas HAM itu tidak memenuhi "syarat formil-materiil" dan "tidak cukup bukti".

Pada 2015, saat memulai penyelidikan kasus pembunuhan dukun santet, Komnas HAM mengaku kesulitan untuk mengakses informasi terkait aspek teknis hukum kepada otoritas kepolisian dan TNI.

Walaupun kesimpulan penyelidikan Komnas HAM tidak menyentuh aspek konteks sosial politik saat itu, namun menurut Beka, kasus ini "tidak terlepas dari kejatuhan Suharto dari kursi presiden" pada Mei 1998.

"Itu membawa dampak yang sangat besar," ujarnya.

Situasi politik lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari tragedi di Banyuwangi itu yaitu "Jawa Timur adalah barometer politik saat itu."

"Di mana kekuatan politik kaum Nadhliyin [di Jatim] itu besar, sehingga dianggap perlu ada peristiwa-peristiwa seperti dukun santet, ninja, dan lain-lain, sebagai bagian suatu operasi politik," jelas Beka.

Beka kemudian menyontohkan kasus pembakaran gereja di Situbondo — basis massa NU dan letaknya tidak jauh dari Banyuwangi — yang terjadi sekitar setahun sebelum teror dukun santet.

Pola

Hasil penyelidikan Komnas HAM juga mengungkapkan bahwa rentetan pembunuhan di beberapa kota di Jawa Timur itu memiliki pola yang memiliki "unsur yang sama".

Di sinilah, Komnas HAM kemudian menyimpulkan teror pembunuhan lebih dari 250 orang itu sebagai pelanggaran HAM berat.

Dalam ringkasan laporannya, pola itu diawali pra kejadian yaitu adanya isu etnis Tionghoa, radiogram bupati Banyuwangi, dan isu TNI masuk desa.

Terkait kehadiran sekelompok orang dalam teror pembantaian, yang menggunakan pola yang sama, yaitu berupa mematikan listrik, penggunaan tali dalam aksinya, dan adanya pihak yang menggerakkannya.

Unsur lainnya adalah kehadiran orang asing. Di sini ditemukan kemunculan orang-orang yang bukan dari wilayah kejadian, yang terlihat dari bahasanya.

Lainnya, ada penggunaan tanda berupa silang dan panah di rumah-rumah yang menjadi target.

Yang terakhir, soal eskalasi, yang disebutkan adanya peningkatan dalam peristiwa kekerasan itu.

"Yang semula isu pembunuhan dukun santet, kemudian bermunculan ninja dan kemunculan orang gila [atau gangguan jiwa]," kata Beka Ulung.

Pada 2018, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan ini ke Kejaksaan Agung agar ditindaklanjuti. Namun sejauh ini belum ada tindaklanjutnya.

Dan di tengah kebuntuan penyelesaian yudisial kasus dukun santet, Presiden Joko Widodo menempuh langkah non-yudisial untuk menyelesaikan kasus tersebut dan belasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya.

Di sinilah, eks ketua tim penyelidikan kasus pembunuhan dukun santet (1998-1999), Beka Ulung Hapsara, mengatakan, negara harus dapat memutus "mata rantai dendam" dan "stigmatisasi" kepada keluarga korban dan masyarakat.

"Supaya mereka juga paham dan tidak kembali menjadi korban," kata Beka.

Negara juga harus memiliki langkah nyata untuk memulihkan hak-hak korban baik secara ekonomi, sosial, hingga psikologis, tambahnya.

"Ini momentum yang tepat bagi korban dan keluarganya untuk menyampaikan semua kebutuhan dan kondisi saat ini, dan negara menjawabnya dengan langkah kongkrit," ujar Beka.

Untuk itulah, korban dan keluarganya bisa datang ke perwakilan pemerintah setempat atau tim pendamping seperti dari NU atau LSM.

"Atau bisa juga datang ke Komnas HAM atau berkirim surat ke Komnas HAM minta didata sebagai korban pelanggaran HAM kasus dukun santet," jelas Beka.

Dari sana, Komnas HAM akan melakukan verifikasi dan mengirimkannya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Dari LPSK dilakukan upaya, apakah bisa langsung atau melalui mekanisme PPHAM (Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu)," ujarnya.

Beka mengakui upaya itu tidak mudah karena korban dan keluarganya masih terstigma sebagai dukun santet.

Namun menurutnya, kendala itu seharusnya bisa ditangani oleh pemerintah Banyuwangi dan kota lainnya dengan "berperan aktif".

"Yaitu bisa memastikan bahwa yang dilakukan para korban adalah dalam rangka pemulihan hak-hak mereka," tegasnya.

Tentang pentingnya dilakukan upaya rekonsiliasi di masyarakat, Beka meyakini rekonsiliasi kultural sudah terjadi.

Tapi, demikian Beka, rekonsiliasi seperti itu perlu diformalkan sebagai langkah resmi negara yang mendesak segera dilakukan.

"Apalagi sekarang tahun politik, jangan sampai isu-isu kemanusiaan digunakan lagi sebagai isu politik, yang kemudian malah mengaburkan jalan keluarnya," tandas Beka.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/05/22/145415178/pembantaian-mereka-yang-dituding-dukun-santet-di-banyuwangi-keluarga-korban

Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke