Kepala Desa Tulungrejo, Suliono mengatakan, di wilayahnya terdapat sekitar 200 hektar lahan pertanian apel. Luasan itu diklaim sebagai lahan apel terbesar se-Asia Tenggara.
"Kendala kita juga banyak petani yang muda-muda ini terus berkurang, enggak mau bertani apel, mereka ini merupakan generasi keempat petani apel," katanya.
Basuki, petani apel di Kota Batu, mengatakan, kerugian yang dialami para petani sudah dirasakan sekitar 4 tahun lamanya. Selain kendala pupuk, obat-obatan pertanian yang mahal menjadikan banyak petani apel di wilayahnya gulung tikar.
Baca juga: Petani Gagal Panen dan Sulit Dapat Pupuk Bersubsidi, Harga Cabai di Purworejo Naik Signifikan
"Pupuk subsidi dicabut, mengapa kita tidak bisa beli. Kami memohon kepada Bapak dari DPR RI dapat memperjuangkan petani di sini dan Indonesia. Kalau petani loyo, pemerintah yang kesulitan. Kalau petani kelaparan, ekonomi susah, sulit semuanya," katanya.
Dia mengatakan, kondisi lahan pertanian apel di Desa Tulungrejo rata-rata sudah berusia 25 tahun atau berusia lanjut. Sehingga hasil panen yang diperoleh tidak sebanyak seperti puluhan tahun lalu. Tidak jarang, kondisi itu membuat para petani beralih menanam sayur dan komoditi buah yang lain.
Bila kondisi itu terus terjadi, dikhawatirkan apel asal Kota Batu akan punah di masa depan.
"Lahan di sini sudah 25 tahun, petani apel di sini banyak yang potong pohon karena harga turun, pendapatan di bawah operasional, harga semakin murah di bawah Rp 7.000 (setiap kilogram). Mohon dibantu pemasaran, tengkulak jualnya juga di bawah harga standar, itu keluh kesah petani," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.