Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trauma Penyintas Tragedi Kanjuruhan, Aulia Jatuh Tengkurap, Terinjak di Tumpukan Manusia hingga Pingsan

Kompas.com, 7 Oktober 2022, 09:59 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Seorang remaja berusia 16 tahun menceritakan pengalaman traumatis yang sempat membuatnya berada di “ambang kematian” dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur Sabtu (1/10/2022.

Dia mengalami berbagai hal, mulai dari tembakan gas air mata, desak-desakan mencari jalan keluar, hingga berada di antara tumpukan manusia.

Sempat terucap dari mulutnya, ”kalau mati di sini tak apa-apa”.

Di tempat terpisah, seorang ayah menceritakan momen-momen terakhir berkomunikasi dengan kedua anaknya sebelum mereka tewas, Sabtu lalu.

Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, bertemu dengan mereka di Malang.

Baca juga: Malam Kelam di Stadion Kanjuruhan, Apa Alasan Polisi Tembakkan Gas Air Mata?

‘Hati-hati ya nak‘

Aulia Rachman, 16 tahun, berasal dari keluarga yang mencintai sepak bola, terutama klub Arema Malang.

Menyaksikan Arema Malang bertanding merupakan suatu kewajiban baginya dan khususnya, sang ayah.

[BBC News Indonesia telah mendapatkan izin dari Maksum (ayah) dan Lila (kakak) untuk mewawancarai Aulia Rachman]

“Arema Malang adalah simbol untuk arek Malang. Ini tentang harga diri dan identitas,” kata Aulia kepada BBC Indonesia di teras Stadion Kanjuruhan, Malang, Senin malam (3/10).

Tidak seperti biasanya, Yayak, begitu teman memanggilnya, mendapat nasihat dari orang tua sebelum berangkat menyaksikan pertandingan antara Arema Malang lawan Persebaya, Sabtu, (1/10/2022).

“Kalau dulu saat izin berangkat tidak dinasihati. Kalau yang kemarin bilang ‘hati-hati yo le‘ [hati-hati ya nak],“ kata Aulia.

Baca juga: Kronologi Lengkap Tragedi Kanjuruhan: Persiapan Pengamanan, Kerusuhan, hingga Penetapan Tersangka

Dia kemudian berangkat dan tiba di stadion pukul 17:00 WIB. Tiket didapat dari calo seharga Rp 70.000.

Setelah berbincang-bincang dengan temannya, Aulia masuk ke dalam stadion selepas azan Magrib dan menuju Tribun 14.

“Saya sama teman tujuh orang di belakang pagar paling bawah. Saya pasang tulisan psywar dan jaga di sana,“ tutur Aulia

Di sebelahnya Aulia terdapat banyak penonton balita, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, hingga lanjut usia.

Baca juga: Kronologi Lengkap Tragedi Kanjuruhan: Persiapan Pengamanan, Kerusuhan, hingga Penetapan Tersangka

Tribun para keluarga

Pamflet duka cita yang diletakkan diatas taburan bunga pasca tragedi yang terjadi pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 seusai pertandingan bertajuk Derbi Jawa Timur, Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Monumen Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, Selasa (4/10/2022) siang.KOMPAS.com/SUCI RAHAYU Pamflet duka cita yang diletakkan diatas taburan bunga pasca tragedi yang terjadi pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 seusai pertandingan bertajuk Derbi Jawa Timur, Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Monumen Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang, Selasa (4/10/2022) siang.
Tribun 1 dan 2 serta Tribun 13 dan 14 yang berada di sebelah Tribun VIP memang kerap diisi para keluarga yang ingin menyaksikan Arema bertanding.

Saat itu Aulia dan para penonton lain di Tribun 14 terlihat bahagia, penuh tawa, dan bersemangat.

“Di sebelah saya ada seorang ibu memberikan jajanan tahu,“ katanya, mengenang. Hingga sekarang dia tidak mengetahui bagaimana nasib ibu itu.

Yayak mengingat pertandingan babak pertama berlangsung dengan meriah lantaran Arema berhasil menyamakan kedudukan walau sempat tertinggal 0-2.

Besarnya antusias penonton yang berdiri, membuat Aulia memutuskan pindah ke bagian atas tribun untuk melihat jalannya pertandingan.

Baca juga: Kronologi Lengkap Tragedi Kanjuruhan: Persiapan Pengamanan, Kerusuhan, hingga Penetapan Tersangka

Pada menit ke-51, Persebaya mencetak satu gol tambahan sekaligus mengunci keunggulan hingga peluit akhir pertandingan dibunyikan.

Setelah itu, waktu berputar dengan sangat cepat.

“Saat pertandingan berakhir, saya melihat satu-dua orang dari tribun saya turun ke lapangan. Petugas menangkap mereka. Lalu semakin banyak yang turun [ke lapangan],“ katanya.

Aparat lantas melepaskan rentetan tembakan gas air mata ke berbagai titik.

“Kemudian Tribun 10 sampai 14 langsung empat tembakan [gas air mata]. Di depan saya banyak asap, saya tidak kuat dan coba turun [ke tangga keluar stadion],” katanya.

‘Kalau mati di sini tidak apa-apa’

Di lantai datar tangga menuju pintu keluar stadion, para penonton berjatuhan dan saling menimpa.dokumen BBC Indonesia Di lantai datar tangga menuju pintu keluar stadion, para penonton berjatuhan dan saling menimpa.
Untuk keluar dari tribun, penonton harus menuruni sekitar 20 anak tangga. Pada bagian tengah terdapat lantai datar sepanjang lebih dari satu meter.

“Pas turun saya kira cuma turun biasa, tidak tahunya banyak yang turun. Ibu-ibu kan baru pertama kali merasakan gas air mata, mereka panik ingin cepat-cepat keluar stadion, desak-desakan,“ katanya.

Aulia mengenang saat di lantai datar tangga itu, para penonton berjatuhan dan saling menimpa.

“Pas [pada bagian] datar ada yang jatuh, lalu ketimpa dari atas dan macet di situ. Padahal ke bawahnya ke tangga tidak ada apa-apa. Jadi menumpuk di tengah.“

Aulia yang berada di tangga atas semakin terdorong ke arah tumpukan.

Baca juga: Ketua Panpel Arema FC Jadi Tersangka Tragedi Kanjuruhan, Jual Tiket Melebihi Kapasitas Stadion

Sementara orang di bawahnya berkata, ‘Mas bisa agak longgaran sedikit?’.

Saya jawab, ‘Wah tidak bisa mas, di belakang tambah parah. Saya buat gerak badan saja tidak bisa’,” paparkan menirukan percakapan saat itu.

Ketika berdesakan, gas air mata membuat mata Aulia perih dan tidak bisa bernafas.

"Rasanya saat itu seperti nafas di air, susah. Sedetik nafas, ambilnya [udara] sakit. Saya pasrah, kalau mati di sini tak apa-apa,” kenangnya.

Jatuh tengkurap, terinjak, dan tertumpuk, lalu pingsan

Di lantai datar tangga menuju pintu keluar stadion, para penonton berjatuhan dan saling menimpa. Aulia semakin terdesak hingga akhirnya jatuh tengkurap dan tertumpuk di antara orang-orang.

”Saya tengkurap, masih sadar, banyak orang injak-injak di atas saya,” katanya.

“Tambah banyak, ratusan yang tertumpuk di situ,” katanya.

”Saat itu saya masih sadar, di bawah saya ada orang, di bawah ada lagi, dan lagi. Saya lihat yang paling bawah [tumpukan] sepertinya sudah meninggal, pucat mukanya, anak remaja,” ujar Aulia.

Setelah kejadian itu, Aulia pingsan.

Baca juga: Dirut PT LIB Jadi Tersangka Tragedi Kanjuruhan, Lalai Tak Verifikasi Stadion

Kesadarannya berangsur pulih ketika pipi kanannya ditampar oleh orang yang mengenakan seragam tentara dan diberikan minum.

Ia pun merasakan seseorang mengoleskan pasta gigi di bawah kelopak matanya.

Aulia mencoba bernafas perlahan dan membuka mata. Dia menyadari telah berada di ruangan teras VIP.

“Lalu datang seorang teman bilang, ‘Ini Yayak? Kamu ora popo? [kamu tidak apa-apa?]’. Saya jawab, ‘Sikilku ra iso gerak’ [Kakiku tidak bisa bergerak],” tuturnya menirukan percakapan kala itu.

Aulia merasa kakinya sakit karena tertimpa dan terinjak-injak. Aulia lalu menoleh ke kiri dan kanan. Ia melihat banyak orang terbaring di sebelahnya

“Banyak mayat, saya tidak kuat, sedih. Saya minta teman tolong keluarin dari sini. Saya dipanggul ke luar stadion dan dibawa ke tempat kopi,“ ujarnya.

Baca juga: Tragedi Kanjuruhan: Anggota Polisi yang Perintahkan Tembak Gas Air Mata

Aulia lantas menghubungi orang tuanya dan dijemput untuk kemudian dibawa ke tempat pijat.

“Saat orang tua jemput, mereka bersyukur karena saya masih hidup. Mereka tidak marah. Soalnya di kampung cuma saya yang belum ketemu, teman lain sudah di rumah,“ ujarnya.

Pada akhir pembicaraan, Aulia mengaku tidak mengerti mengapa aparat keamanan menembakkan gas air mata, khususnya ke tribun ekonomi.

“Kan tidak ada yang salah di tribun? Perasaan saya campur aduk, trauma. Banyak yang meninggal, kok bisa seperti ini terjadi? Sebelumnya tidak pernah,” tuturnya.

Baca juga: Ditetapkan Jadi Tersangka di Tragedi Kanjuruhan, Dirut LIB Buka Suara

‘Dua anakku meninggal'

Devi Athok Yulfitri memegang kain rajutan Arema FC milik putrinya yang kini sudah tiada.dokumen BBC Indonesia Devi Athok Yulfitri memegang kain rajutan Arema FC milik putrinya yang kini sudah tiada.
Devi Athok Yulfitri, 43 tahun, kehilangan dua putrinya, Natasha Debi dan Naila Debi, serta mantan istrinya Gebi Asta Putri. Mereka tewas di Tribun Selatan, Stadion Kanjuruhan.

Di rumahnya di Malang, Devi menunjukkan komunikasi terakhir melalui Whatsapp dengan putrinya, Natasha.

Sunlilu [panggilan kesayangan untuk Natasha]: “Ayah ndelo [menonton] Arema?”

Devi: “Ayah di Pasir Putih, Situbondo. Muat Tebu. Mba Tasya mau lihat?”

Natasha: “Oalaa, heem amb [iya bersama] pipi mama”

Devi: ”Oh… iya… Tikette wes nduwe [Tiketnya sudah dibeli?]”

Natasha: ”Kte [kita] pinjem baju. [Tiketnya] uwess [sudah]”

Natasha: “Aku ga erro ndelo nde get piro, engko nd 10 gae curvanord [Aku tidak tahu menonton di gate berapa, inginnya nanti di Gate 10, Gate Curvanord]. ☹ [emoticon sedih]”

Devi: “Gak apa2.. Bilango, anak e mas depi curvanord [Tidak apa-apa…Bilang saja, kamu anaknya mas Devi Curvanord]”

Natasha “Halah pret

Baca juga: Peran 6 Tersangka Tragedi Kanjuruhan dan Pasal yang Dijeratkan

Itulah sepenggal komunikasi antara Devi dengan anaknya dari pukul 14:51 hingga 14:57 WIB, Sabtu (01/10).

Sementara itu, lanjut Devi, anak keduanya Naila, pada Sabtu siang itu, beberapa kali mengganggu dirinya.

“Sangat ngalem [manja], ganggu terus, telepon terus, lalu dimatikan. Suruh saya telepon lagi, sampai delapan kali. Dia minta dijemput pulang sekolah oleh bapak saya, ngalem sekali dan kata bapak taruh sepatu di leher bapak saya,” kata Devi.

Kemudian Devi melanjutkan pekerjannya untuk mengantarkan tebu dari Situbondo ke Malang.

Di perjalanan, dia merasa gelisah. "Seperti ada orang di mobil, tapi tidak ada," kata dia. Devi tiba di rumahnya sekitar pukul 11 malam.

Baca juga: Tragedi Kanjuruhan, Ratusan Suporter Sumedang Gelar Aksi Solidaritas

Saat itu, seorang teman dari komunitas pendukung Aremania “Curvanord”, meneleponnya.

Teman itu mengatakan, Natasha telah meninggal dunia dan berada di Rumah Sakit Wava Husada Malang.

Lalu Devi mengajak kedua orang tuanya dan kakaknya ke RS.

“Hancur [saya melihat kondisi anak]. Natasha tergeletak. Saya pukul semua, saya tidak percaya anak saya meninggal dunia. Saya peluk lagi, berontak lagi,” katanya.

Lalu Devi menelepon ponsel milik anaknya, Naila, dan mantan istrinya, Gebi, sekitar pukul 01:30-an. Namun tidak ada jawaban.

Ternyata Gebi dan Naila juga tewas dalam tragedi Stadion Kanjuruhan. Mereka berada di RS yang sama.

Baca juga: Kapolri: Sebagian Besar Korban Meninggal Tragedi Kanjuruhan Alami Asfiksia

“Kakak saya lalu cari-cari lagi dan melihat mamanya [Gabi], dan Naila di barisan jenazah, tiga saf, yang sama,” kata Devi.

“Melihat itu, saya tidak percaya, saya marah. Saya teriak, ‘anakku mati loro’ [dua anakku meninggal] dan kemudian saya pingsan, ” ceritanya.

Setelah beberapa hari terlewati, Devi mengatakan, semangat hidupnya telah hancur dan perjuangannya untuk kedua putri yang disayangi menjadi sia-sia.

“Ini akibat gas beracun, bukan gas air mata. Kalau gas air mata mungkin cuma efek pedih gatal. Tapi anak saya keluar racun, busa, dan gosong.”

“Saya mohon dihukum seberat-beratnya pihak keamanan yang menembakkan gas air mata ke tribun. Itu saja”.

Baca juga: Kapolri: 11 Personel Polisi Tembakkan Gas Air Mata di Kanjuruhan

Korban meninggal akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan bertambah menjadi 131 orang dan 35 orang di antara mereka adalah anak-anak, menurut data resmi Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Tragedi Kanjuruhan menjadi bencana sepak bola terburuk kedua di dunia, setelah peristiwa di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 1964 yang menewaskan lebih dari 300 orang.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau