Salin Artikel

Trauma Penyintas Tragedi Kanjuruhan, Aulia Jatuh Tengkurap, Terinjak di Tumpukan Manusia hingga Pingsan

Dia mengalami berbagai hal, mulai dari tembakan gas air mata, desak-desakan mencari jalan keluar, hingga berada di antara tumpukan manusia.

Sempat terucap dari mulutnya, ”kalau mati di sini tak apa-apa”.

Di tempat terpisah, seorang ayah menceritakan momen-momen terakhir berkomunikasi dengan kedua anaknya sebelum mereka tewas, Sabtu lalu.

Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, bertemu dengan mereka di Malang.

‘Hati-hati ya nak‘

Aulia Rachman, 16 tahun, berasal dari keluarga yang mencintai sepak bola, terutama klub Arema Malang.

Menyaksikan Arema Malang bertanding merupakan suatu kewajiban baginya dan khususnya, sang ayah.

[BBC News Indonesia telah mendapatkan izin dari Maksum (ayah) dan Lila (kakak) untuk mewawancarai Aulia Rachman]

“Arema Malang adalah simbol untuk arek Malang. Ini tentang harga diri dan identitas,” kata Aulia kepada BBC Indonesia di teras Stadion Kanjuruhan, Malang, Senin malam (3/10).

Tidak seperti biasanya, Yayak, begitu teman memanggilnya, mendapat nasihat dari orang tua sebelum berangkat menyaksikan pertandingan antara Arema Malang lawan Persebaya, Sabtu, (1/10/2022).

“Kalau dulu saat izin berangkat tidak dinasihati. Kalau yang kemarin bilang ‘hati-hati yo le‘ [hati-hati ya nak],“ kata Aulia.

Dia kemudian berangkat dan tiba di stadion pukul 17:00 WIB. Tiket didapat dari calo seharga Rp 70.000.

Setelah berbincang-bincang dengan temannya, Aulia masuk ke dalam stadion selepas azan Magrib dan menuju Tribun 14.

“Saya sama teman tujuh orang di belakang pagar paling bawah. Saya pasang tulisan psywar dan jaga di sana,“ tutur Aulia

Di sebelahnya Aulia terdapat banyak penonton balita, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, hingga lanjut usia.

Saat itu Aulia dan para penonton lain di Tribun 14 terlihat bahagia, penuh tawa, dan bersemangat.

“Di sebelah saya ada seorang ibu memberikan jajanan tahu,“ katanya, mengenang. Hingga sekarang dia tidak mengetahui bagaimana nasib ibu itu.

Yayak mengingat pertandingan babak pertama berlangsung dengan meriah lantaran Arema berhasil menyamakan kedudukan walau sempat tertinggal 0-2.

Besarnya antusias penonton yang berdiri, membuat Aulia memutuskan pindah ke bagian atas tribun untuk melihat jalannya pertandingan.

Pada menit ke-51, Persebaya mencetak satu gol tambahan sekaligus mengunci keunggulan hingga peluit akhir pertandingan dibunyikan.

Setelah itu, waktu berputar dengan sangat cepat.

“Saat pertandingan berakhir, saya melihat satu-dua orang dari tribun saya turun ke lapangan. Petugas menangkap mereka. Lalu semakin banyak yang turun [ke lapangan],“ katanya.

Aparat lantas melepaskan rentetan tembakan gas air mata ke berbagai titik.

“Kemudian Tribun 10 sampai 14 langsung empat tembakan [gas air mata]. Di depan saya banyak asap, saya tidak kuat dan coba turun [ke tangga keluar stadion],” katanya.

“Pas turun saya kira cuma turun biasa, tidak tahunya banyak yang turun. Ibu-ibu kan baru pertama kali merasakan gas air mata, mereka panik ingin cepat-cepat keluar stadion, desak-desakan,“ katanya.

Aulia mengenang saat di lantai datar tangga itu, para penonton berjatuhan dan saling menimpa.

“Pas [pada bagian] datar ada yang jatuh, lalu ketimpa dari atas dan macet di situ. Padahal ke bawahnya ke tangga tidak ada apa-apa. Jadi menumpuk di tengah.“

Aulia yang berada di tangga atas semakin terdorong ke arah tumpukan.

Sementara orang di bawahnya berkata, ‘Mas bisa agak longgaran sedikit?’.

Saya jawab, ‘Wah tidak bisa mas, di belakang tambah parah. Saya buat gerak badan saja tidak bisa’,” paparkan menirukan percakapan saat itu.

Ketika berdesakan, gas air mata membuat mata Aulia perih dan tidak bisa bernafas.

"Rasanya saat itu seperti nafas di air, susah. Sedetik nafas, ambilnya [udara] sakit. Saya pasrah, kalau mati di sini tak apa-apa,” kenangnya.

Jatuh tengkurap, terinjak, dan tertumpuk, lalu pingsan

Di lantai datar tangga menuju pintu keluar stadion, para penonton berjatuhan dan saling menimpa. Aulia semakin terdesak hingga akhirnya jatuh tengkurap dan tertumpuk di antara orang-orang.

”Saya tengkurap, masih sadar, banyak orang injak-injak di atas saya,” katanya.

“Tambah banyak, ratusan yang tertumpuk di situ,” katanya.

”Saat itu saya masih sadar, di bawah saya ada orang, di bawah ada lagi, dan lagi. Saya lihat yang paling bawah [tumpukan] sepertinya sudah meninggal, pucat mukanya, anak remaja,” ujar Aulia.

Setelah kejadian itu, Aulia pingsan.

Kesadarannya berangsur pulih ketika pipi kanannya ditampar oleh orang yang mengenakan seragam tentara dan diberikan minum.

Ia pun merasakan seseorang mengoleskan pasta gigi di bawah kelopak matanya.

Aulia mencoba bernafas perlahan dan membuka mata. Dia menyadari telah berada di ruangan teras VIP.

“Lalu datang seorang teman bilang, ‘Ini Yayak? Kamu ora popo? [kamu tidak apa-apa?]’. Saya jawab, ‘Sikilku ra iso gerak’ [Kakiku tidak bisa bergerak],” tuturnya menirukan percakapan kala itu.

Aulia merasa kakinya sakit karena tertimpa dan terinjak-injak. Aulia lalu menoleh ke kiri dan kanan. Ia melihat banyak orang terbaring di sebelahnya

“Banyak mayat, saya tidak kuat, sedih. Saya minta teman tolong keluarin dari sini. Saya dipanggul ke luar stadion dan dibawa ke tempat kopi,“ ujarnya.

Aulia lantas menghubungi orang tuanya dan dijemput untuk kemudian dibawa ke tempat pijat.

“Saat orang tua jemput, mereka bersyukur karena saya masih hidup. Mereka tidak marah. Soalnya di kampung cuma saya yang belum ketemu, teman lain sudah di rumah,“ ujarnya.

Pada akhir pembicaraan, Aulia mengaku tidak mengerti mengapa aparat keamanan menembakkan gas air mata, khususnya ke tribun ekonomi.

“Kan tidak ada yang salah di tribun? Perasaan saya campur aduk, trauma. Banyak yang meninggal, kok bisa seperti ini terjadi? Sebelumnya tidak pernah,” tuturnya.

Di rumahnya di Malang, Devi menunjukkan komunikasi terakhir melalui Whatsapp dengan putrinya, Natasha.

Sunlilu [panggilan kesayangan untuk Natasha]: “Ayah ndelo [menonton] Arema?”

Devi: “Ayah di Pasir Putih, Situbondo. Muat Tebu. Mba Tasya mau lihat?”

Natasha: “Oalaa, heem amb [iya bersama] pipi mama”

Devi: ”Oh… iya… Tikette wes nduwe [Tiketnya sudah dibeli?]”

Natasha: ”Kte [kita] pinjem baju. [Tiketnya] uwess [sudah]”

Natasha: “Aku ga erro ndelo nde get piro, engko nd 10 gae curvanord [Aku tidak tahu menonton di gate berapa, inginnya nanti di Gate 10, Gate Curvanord]. ☹ [emoticon sedih]”

Devi: “Gak apa2.. Bilango, anak e mas depi curvanord [Tidak apa-apa…Bilang saja, kamu anaknya mas Devi Curvanord]”

Natasha “Halah pret”

Itulah sepenggal komunikasi antara Devi dengan anaknya dari pukul 14:51 hingga 14:57 WIB, Sabtu (01/10).

Sementara itu, lanjut Devi, anak keduanya Naila, pada Sabtu siang itu, beberapa kali mengganggu dirinya.

“Sangat ngalem [manja], ganggu terus, telepon terus, lalu dimatikan. Suruh saya telepon lagi, sampai delapan kali. Dia minta dijemput pulang sekolah oleh bapak saya, ngalem sekali dan kata bapak taruh sepatu di leher bapak saya,” kata Devi.

Kemudian Devi melanjutkan pekerjannya untuk mengantarkan tebu dari Situbondo ke Malang.

Di perjalanan, dia merasa gelisah. "Seperti ada orang di mobil, tapi tidak ada," kata dia. Devi tiba di rumahnya sekitar pukul 11 malam.

Saat itu, seorang teman dari komunitas pendukung Aremania “Curvanord”, meneleponnya.

Teman itu mengatakan, Natasha telah meninggal dunia dan berada di Rumah Sakit Wava Husada Malang.

Lalu Devi mengajak kedua orang tuanya dan kakaknya ke RS.

“Hancur [saya melihat kondisi anak]. Natasha tergeletak. Saya pukul semua, saya tidak percaya anak saya meninggal dunia. Saya peluk lagi, berontak lagi,” katanya.

Lalu Devi menelepon ponsel milik anaknya, Naila, dan mantan istrinya, Gebi, sekitar pukul 01:30-an. Namun tidak ada jawaban.

Ternyata Gebi dan Naila juga tewas dalam tragedi Stadion Kanjuruhan. Mereka berada di RS yang sama.

“Kakak saya lalu cari-cari lagi dan melihat mamanya [Gabi], dan Naila di barisan jenazah, tiga saf, yang sama,” kata Devi.

“Melihat itu, saya tidak percaya, saya marah. Saya teriak, ‘anakku mati loro’ [dua anakku meninggal] dan kemudian saya pingsan, ” ceritanya.

Setelah beberapa hari terlewati, Devi mengatakan, semangat hidupnya telah hancur dan perjuangannya untuk kedua putri yang disayangi menjadi sia-sia.

“Ini akibat gas beracun, bukan gas air mata. Kalau gas air mata mungkin cuma efek pedih gatal. Tapi anak saya keluar racun, busa, dan gosong.”

“Saya mohon dihukum seberat-beratnya pihak keamanan yang menembakkan gas air mata ke tribun. Itu saja”.

Korban meninggal akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan bertambah menjadi 131 orang dan 35 orang di antara mereka adalah anak-anak, menurut data resmi Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Tragedi Kanjuruhan menjadi bencana sepak bola terburuk kedua di dunia, setelah peristiwa di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 1964 yang menewaskan lebih dari 300 orang.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/10/07/095900678/trauma-penyintas-tragedi-kanjuruhan-aulia-jatuh-tengkurap-terinjak-di

Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke