Karena kondisi ekonomi yang terbatas, setelah lulus SD, Sukar memilih tidak melanjutkan pendidikan ke bangku SMP.
Ia tetap menekuni dunia perhiasan hingga belajar ke Surabaya.
Saat itu, Sukar yang hanya anak seorang buruh tani bercita-cita ingin menjadi juragan emas.
Selama belajar di Kota Pahlawan, ia takjub dengan teknologi canggih yang digunakan.
Sukar menghabiskan waktu lima tahun lagi dengan bekerja di bengkel perhiasan orang lain sambil mempelajari ilmu sebagai perajin emas.
Dari sana, Sukar kemudian memberanikan diri membuka bengkel perhiasan di rumah dengan mengadopsi peralatan yang ditemuinya di Surabaya.
Baca juga: Bawa Pohon Pisang, Mahasiswa Desak Kejari Lumajang Tetapkan Tersangka Kasus Korupsi
Karya pertamanya dibawa ke Bali untuk dijual. Sayang, saat itu bukan untung yang didapatkannya. Sukar ditipu dan barangnya habis.
Tidak menyerah, ia kembali memproduksi perhiasan di rumahnya. Kali ini, barangnya dibawa ke Surabaya. Nahas, lagi-lagi Sukar ditipu orang.
"Ke Bali, katanya mau dibeli WNA dari Kanada, saya titipkan barangnya ke teman, ternyata uang tidak kembali, barang juga hilang, ke Surabaya ditipu lagi," ceritanya.
Tahun 1995, Sukar berada pada titik terendah dalam hidupnya.
Saat itu, ia yang harus menghidupi istri dan satu orang anak harus menerima kenyataan bahwa usahanya bangkrut. Ditambah, istrinya tengah mengandung anak kedua.
Sukar juga menanggung utang yang tidak sedikit. Saat harga perak hanya Rp 400 per gram, Sukar memiliki utang sebanyak Rp 20 juta.
"Tahun 1995 harga rusak, tukang nakal jadi orang tidak percaya lagi sama saya, bangkrut sampai punya utang Rp 20 juta, padahal perak waktu itu masih harga Rp 400," terangnya.