MADIUN, KOMPAS.com - Pupuk subsidi di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, langka. Akibatnya, para petani terpaksa membeli pupuk bersubsidi ilegal dengan harga dua kali lipat untuk memenuhi kebutuhan pertaniannya.
Keluhan itu disampaikan para petani saat menggelar unjuk rasa di gedung DPRD Kabupaten Madiun, Rabu (9/3/2022). Ratusan petani mendatangi gedung DPRD Kabupaten Madiun untuk mendesak dewan dan Pemkab Madiun mencarikan solusi terkait sulitnya mendapatkan pupuk subsidi berharga murah.
"Pupuk bersubsidi dengan harga dua kali lipat itu sudah ada sejak Januari 2022. Kalau pupuk bersubsidi resmi itu harga satu kuintal Rp 210.000. Sedangkan pupuk ini (bersubsidi) ilegal sebesar Rp 550.000,” kata Muhadi, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun kepada Kompas.com disela-sela unjuk rasa di gedung DPRD Kabupaten Madiun, Rabu.
Muhadi mengatakan, petani memilih membeli pupuk bersubsidi ilegal lantaran harganya lebih murah dibandingkan dengan pupuk non-subsidi. Harga pupuk non-subsidi per 100 kilogram mencapai lima kali lipat dari harga pupuk subsidi atau sebesar Rp 1 juta-an.
Ia menuturkan, saat ini pupuk bersubsidi ilegal dijual bebas di masyarakat. Namun penjualannya tidak di kios atau toko resmi pupuk.
“Anehnya, pupuk bersubsidi bisa dijualbelikan bebas di pasaran tanpa sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Bahkan, penjualnya berasal dari kalangan umum bukan melalui agen atau kios resmi yang ditunjuk pemerintah sebanyak penyalur pupuk bersubsidi,” kata Muhadi.
Baca juga: Tolak Burung Murainya Dibeli Rp 400 Juta oleh Wali Kota Madiun, Pemilik: Berapa Pun Tidak Saya Lepas
2.000 ton masuk Madiun
Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Madiun, Suharno, yang ikut berunjuk rasa menyatakan sudah ada 2.000 ton pupuk bersubsidi ilegal yang masuk di Kabupaten Madiun. Untuk itu, ia meminta pemerintah segera menghentikan peredaran pupuk bersubsidi ilegal itu.
"Peredaran pupuk ilegal harus dihentikan. Saya khawatir kalau ini dibiarkan tak ubahnya sama dengan sembako. Artinya, sembako dilempar ke orang miskin kemudian ada yang membeli dan balik lagi ke bulog,” jelas Suharno.