Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernah Jadi MC Dangdut, Ini Sosok Hasan Pemimpin Kelompok Tunggal Jati Nusantara yang Gelar Ritual di Pantai Payangan

Kompas.com, 15 Februari 2022, 06:56 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sebanyak 11 orang tewas terseret ombak saat melakukan ritual di Pantai Payangan Jember pada Minggu (13/2/2022).

Mereka adalah anggota dari Padepokan Jamaah Tunggal Jati Nusantara. Total ada 23 orang yang mengikuti ritual yang dilakukan pada Sabtu (12/2/2022).

Namun saat para peserta melakukan meditasi pada Minggu (13/2/2022) dini hari, ombak besar menghantam dan menyeret para peserta yang ada di bibir pantai.

Baca juga: 11 Anggota Kelompok Tunggal Jati Nusantara Tewas Saat Ritual, Khofifah: Ada Patologi Sosial...

Lalu siapakah sosok pemimpin kelompok tersebut?

Kelompok Padepokan Jamaah Tunggal Jati Nusantara dipimpin oleh seorang pria yang bernama Hasan.

Sosok Hasan selamat saat ritual maut yang digelar di Pantai Payangan.

Kelompok Tunggal Jati Nusantara berpusat di Desa Dukuh Mencek, Kecamatan Sukorambi, Jember, tepatnya di rumah pribadi Hasan.

Dari Dukuh Mencek itu lah para korban berkumpul sebelum berangkat menuju ke Pantai Payangan untuk menggelar ritual.

Baca juga: Fenomena Kelompok Tunggal Jati Nusantara dan Ritual Maut di Pantai Jember dari Kacamata Sosiolog

Kades Dukuh Mencek, Nanda membenarkan keberadaan kelompok tersebut. Ia mengatakan kelompok Padepokan Jamaah Tunggal Jati Nusantara menggunakan ruang tamu rumah Hasan untuk kegiataan.

Nanda tidak mengetahui betul arti nama Tunggal Sejati Nusantara itu. Namun nama itu tercetak seperti tulisan kaligrafi di rumah Hasan.

“Rumah yang dipakai itu ruang tamu biasa, tidak ada padepokan atau aulanya,” tutur dia.

Baca juga: Kelompok Tunggal Jati Nusantara Ternyata Sering Gelar Ritual di Pantai Payangan

Saat malam Jumat, kelompok tersebut menggelar kegiatan seperti membaca Al Quran, dzikir hingga selawat di rumah Hasan. Kegiatan tersebut dilakukan 2 bulan sekali.

Keberadaan kelompok tersebut sudah ada sejak 2 tahun lalu tepatnya saat pandemi Covid-19. Pihak desa sendiri tak curiga karena kegiatan tersebut dinilai positif.

“Awalnya seperti itu, tapi kok lama-lama ada seperti ini, itu saya kurang tahu,” tambah dia.

Baca juga: Sosok Pemimpin Tunggal Jati Nusantara, Kelompok Penggelar Ritual Maut di Jember, Bekerja Jadi MC Dangdut dan Jualan Online

Hasan bukan kiai dan pernah bekerja di Malaysia

Tim dari Basarnas Jember saat melakukan pencarian terhadap korban yang tenggelam di pantai payangan Minggu (11/4/2021)Kompas.com/Dokumentasi Basarnas Jember Tim dari Basarnas Jember saat melakukan pencarian terhadap korban yang tenggelam di pantai payangan Minggu (11/4/2021)
Nanda menegaskan jika Hasan, pendiri kelompok Tunggal Jati Nusantara bukanlah seorang kiai atau ustaz.

Menurutnya Hasan cukup lama kerja di Mayalsia dan baru kembali ke Desa Dukuh Mencek pada tahun 2014.

Saat kembali dari Malaysia, pekerjaan Hasan cukup beragam mulai dari menjadi MC acara dangdut hingga berjualan online seperti berjualan tisu.

Nanda mengatakan aggota kelompok tersebut datang ke Hasan untuk berobat atau memiliki masalah ekonomi atau keluarga.

Baca juga: 11 Anggota Kelompok Tunggal Jati Nusantara Tewas Saat Ritual, Polisi Minta Keterangan Korban Selamat

“Kayaknya orang yang datang ke sana itu yang susah, mungkin sakit atau kesulitan ekonomi dan masalah keluarga,” papar dia.

Sementara itu dikutip dari Tribunnewas.com, Bupati Jember, Hendy Siswanto mengatakan Tunggal Jati Nusantara bukanlah nama asli dari padepokan tersebut.

Nama asli dari padepokan itu yakni Garuda Nusantara.

"Itu nama kelompoknya Padepokan Garuda Nusantara, tapi nama populernya Tunggal Jati Nusantara," kata Hendy, Senin (14/2/2022).

Baca juga: Mengenal Pantai Payangan yang Jadi Lokasi Ritual Maut di Jember, Ada Teluk Berbentuk Hati

Hendy mengatakan padepokan tersebut masih baru dan diduga tidak memiliki izin.

Meski demikian, Hendy menyatakan bakal melakukan pengecekan lebih lanjut untuk memastikan apakah padepokan itu benar-benar tidak memiliki izin. Ia mengatakan anggota padepokan ini sebanyak 40 orang.

Perihal ritual di pantai yang diadakan, Hendy mengaku tidak bisa memantau karena kelompok ini beberapa kali melakukan ritual di dua tempat yang berbeda.

Ritual diadakan pukul 21.00 hingga 01.00.

"Belum terpantau, terus terang saja, karena mereka melakukan ritual itu dua tempat lainnya itu di sungai, dan ndak tahu kita jadwal mereka," bebernya.

Baca juga: Khofifah Beri Bantuan Rp 10 Juta bagi Keluarga Korban Tewas Ritual Maut Pantai Payangan Jember

Pengakuan keluarga korban

Evakuasi warga yang tenggelam di pantai payangan Jember Bagus Supriadi/Dokumentasi Basarnas Jember Evakuasi warga yang tenggelam di pantai payangan Jember
Suami istri asal Dusun Krajan Desa/Kecamatan Ajung, Jember menjadi korban tewas dalam ritual tersebut.

Mereka adalah Syaiful Bahri (40) dan Sri Wahyuni Komariyah (35).

Anak sulung Syaiful, SAM (15) brcerita saat kejadian ayah dan ibunya datang ke pengajian kelompok.

Sampai akhirnya mengikuti ritual di Pantai Kayangan.

Menurutnya, kedua orangtuanya sudah 2 bulan mengikuti pengajian kelompok tersebut. Selama 2 bulan, Syaiful dan Sri Wahyuni sudah tiga kali mengikuti ritual di Pantai Payangan.

Baca juga: Kronologi Anak 2 Tahun Selamat dari Ritual Maut di Pantai Payangan Jember

"Ritualnya ada ke Pantai Payangan, ada juga ke pegunungan," ujarnya.

"Kalau ritual di Pantai Payangan, ayah sudah ikut tiga kali. Yang kedua, sekitar 10 hari lalu," ujar SAM.

SAM dan dua orang adiknya yang cukup besar secara bergantian dibawa ikut ke pengajian kelompok tersebut.

Pengajian biasanya diadakan di rumah Ketua Kelompok Tunggal Jati, Nurhasan, di Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi, Jember.

"Kadang yang di Abah, dekat rumah," imbuh SAM sambil menyebut salah satu tetangganya.

Baca juga: Tragedi Ritual Berujung Maut di Pantai Payangan, 11 Orang Tewas Terseret Ombak

SAM mengaku pernah diajak sekali oleh orang tuanya mengikuti ritual itu.

Dia menceritakan mereka memakai kaus hitam berlogo dan bertuliskan nama kelompok Tunggal Jati.

"Semuanya berpakaian hitam," tuturnya.

Setelah berada di tepi pantai, mereka berdiri menghadap ke pantai dengan lengan saling bergandengan. Kemudian mereka duduk, masih menghadap laut.

Dalam ritualnya, mereka membaca sejumlah bacaan seperti syahadat, surat Al-Fatihah, beberapa surat pendek, juga bacaan dalam bahasa Jawa.

Baca juga: Kisah Juru Kunci Bukit Samboja, Terjun ke Laut demi Selamatkan Peserta Ritual yang Terseret Ombak Pantai Payangan

SAM menyebut ritual itu seakan memanggil ombak.

"Jadi dari ombaknya kecil, sampai besar. Tubuh memang harus terkena ombak. Ritual berakhir dengan mandi di laut," imbuhnya.

Ritual berakhir sekitar pukul 02.00 WIB. Karena biasanya sekitar pukul 03.00 WIB, Syaiful dan istrinya sudah tiba di rumah.

Meskipun mereka kadang pernah tiba selepas Subuh.

Ritual dilakukan setiap penanggalan Kliwon di kalender Jawa. Ritual sebelumnya digelar Kamis Kliwon atau Kamis (3/2/2022) atau 10 hari sebelum ritual maut terjadi.

Sementara peristiwa maut yang terjadi di Pantai Payanga terjadi pada Minggu Kliwon dini hari.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Bagus Supriadi | Editor : Pythag Kurniati), Tribunnews.com

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Bus Pariwisata di Banyuwangi Ditahan Preman karena Tak Bayar 'Uang Pengawalan', Penyandera Ditangkap
Bus Pariwisata di Banyuwangi Ditahan Preman karena Tak Bayar "Uang Pengawalan", Penyandera Ditangkap
Surabaya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau