Namun, waktu tingkeban tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus dicari hari baik menurut ketentuan masyarakat Jawa.
Adapun rangkaian tingkeban dimulai dengan siraman atau mandi, yang merupakan simbol penyucian jiwa dan raga.
Berikutnya adalah memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain sarung calon ibu, yang dilakukan oleh suaminya.
Setelah itu adalah rangkaian upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Arjuna dan Sumbadra.
Kemudian, calon ibu akan mengganti busana dengan kain sebanyak tujuh motif yang berbeda-beda.
Upacara ditutup dengan minum jamu sorongan, yang melambangkan agar anak yang dikandung akan mudah saat dilahirkan.
Baca juga: 7 Upacara Adat di Bali, dari Ngaben hingga Galungan
Upacar tingkeban dilakukan dengan tujuan sebagai sarana berdoa agar jabang bayi yang ada dalam kandungan selalu diberi kesehatan.
Selain itu, masyarakat Jawa juga meyakini tingkeban harus dilaksanakan agar ibu dan anak dalam kandungan terhindar dari malapetaka.
Upacara tingkeban juga mengandung makna solidaritas primordial yang berkaitan dengan adat-istiadat yang sudah turun-temurun.
Bagi masyarakat Jawa, mengabaikan adat akan menimbulkan celaan dan nama buruk bagi keluarga.
Oleh karena itu, meninggalkan tingkeban tidak hanya melanggar etik status sosial, namun juga tidak menghormati tatanan para leluhur.
Sumber:
Neliti.com
Radenintan.ac.id