Sejak 2006 hingga kini, semburan Lumpur Lapindo telah menggenangi 19 desa di Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Jabon, dan Kecamatan Porong dengan luas area terdampak diperkirakan mencapai 1.143,3 hektare.
Kejadian tersebut membuat lebih dari 10.426 unit rumah dan 77 rumah ibadah terendam lumpur, serta memaksa puluhan ribu jiwa mengungsi.
Para pengungsi ini juga mengalami krisis identitas karena KTP mereka tidak bisa digunakan karena desa tempat tinggalnya sudah hilang ditelan lumpur panas.
Dampak lumpur diketahui mengganggu operasional Jalan Tol Surabaya-Gempol, serta jalur kereta api Surabaya-Banyuwangi dan Surabaya-Malang.
Pemerintah mengambil tindakan dengan membangun tanggul di sekitar lokasi agar luasan lahan yang tertimbun lumpur tak terus meluas.
Proyek pembuatan tanggul dengan skala besar pun dilakukan dan walau beberapa kali tanggul tersebut jebol karena overtopping dan akibat cuaca di musim hujan.
Pemerintah juga sempat membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk melakukan berbagai tindakan dan penelitian sebagai usaha untuk menghentikan semburan lumpur.
Pada akhirnya usaha untuk menghentikan semburan lumpur dihentikan karena persentase keberhasilannya sangat kecil.
Hampir sepuluh tahun kemudian pada 2017 Kementerian PUPR membentuk Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) pasca pembubaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) berdasarkan Perpres No.21 Tahun 2017.
PPLS tidak hanya bekerja mengatasi dampak semburan lumpur dan menjaga kondisi tanggul, namun juga mengatasi dampak sosial kepada masyarakat sekitar.
Lebih lanjut, sampai saat ini pemerintah masih berupaya untuk menyelesaikan masalah terkait ganti rugi yang belum juga selesai.
Pembahasan mengenai adanya “harta karun” dari Lumpur Lapindo berupa adanya kandungan logam tanah jarang belakangan ini mengemuka.
Melansir pemberitaan Kompas.com (24/01/2022), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan adanya potensi kandungan logam tanah jarang (rare earth) pada Lumpur Lapindo.
Diketahui kandungan logam tanah jarang atau rare earth element (REE) juga pernah teridentifikasi di Sumatera, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa, totalnya 28 daerah.
"Kami juga melakukan kajian terhadap lumpur Sidoarjo yang ternyata juga diidentifikasi oleh Badan Litbang mengandung logam tanah jarang," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono dalam jumpa pers, dikutip Antara, 20 Januari 2022.