SURABAYA, KOMPAS.com - Baru-baru ini, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menerapkan kebijakan mengenai pembatasan jam malam bagi anak di bawah usia 18 tahun di Kota Surabaya.
Pemberlakuan jam malam bagi anak di luar rumah ini dimulai pukul 22.00 WIB hingga 04.00 WIB.
Eri menyebut, kebijakan tersebut bertujuan untuk menghindarkan anak dari berbagai risiko, seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, minum-minuman keras, narkotika, dan segala bentuk kekerasan pada anak.
Baca juga: Eri Cahyadi Berencana Gelar Sweeping Jam Malam Anak pada Rabu Besok
Menanggapi hal tersebut, Dosen Departemen Administrasi Publik Universitas Airlangga (Unair), Parlaungan Iffah Nasution menilai kebijakan ini sebagai langkah positif.
Lantaran kebijakan publik ini berbasis gerakan dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat akar rumput.
“Saya melihat ini sebagai satu kebijakan publik yang berbasis pada gerakan yang sifatnya bottom-up. Jadi bagaimana mekanismenya itu justru bukan diatur detail secara top-down, tetapi menuntut partisipasi aktif masyarakat,” ungkap dosen yang akrab disapa Ucok itu, Selasa (1/7/2025).
Baca juga: Jam Malam Anak di Surabaya, Eri Cahyadi: Sweeping Mulai Minggu Depan
Menurutnya, kenakalan remaja menjadi permasalahan yang kompleks sehingga perlu penyelesaian yang melibatkan banyak aktor.
Selain itu, kenakalan remaja bukan permasalahan yang dapat terselesaikan dalam satu waktu serta membutuhkan perencanaan jangka panjang.
Oleh karena itu, kebijakan pembatasan jam malam ini perlu disertai dengan program lain dalam rangka membina remaja.
“Jam malam ini jangan kemudian dilihat secara bias pada jamnya, tetapi fokus pada pembinaannya. Fokus pada perubahan pola budaya dan pola hidup bermasyarakat,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa pemahaman mengenai kebijakan ini perlu difokuskan pada pembinaan, bukan pada pembatasan.
“Jadi bagaimana orangtua punya perhatian penuh dan kita sebagai publik punya kesadaran untuk mengingatkan anak dan remaja di lingkungan sekitar,” jelasnya.
Pembatasan jam malam untuk anak di bawah usia 18 tahun merupakan kebijakan yang berbasis gerakan, sehingga dalam implementasinya akan dikontrol oleh warga lokal sehingga melibatkan pemegang jabatan seperti ketua RT dan ketua RW.
Melihat hal ini, Ucok menyoroti tantangan untuk mengkomunikasikan kebijakan pada masyarakat akar rumput.
“Salah satu tantangannya adalah bagaimana kebijakan ini dikomunikasikan ke akar rumput. Jangan sampai di akar rumput itu tahu mekanismenya, tapi tidak tahu substansinya,” paparnya.
Ia menyebut, kebijakan ini dapat dikomunikasikan dengan cara konvensional hingga digital.
Perlu adanya pelaksanaan sosialisasi formal yang tidak hanya mengundang ketua RT dan RW, tetapi juga komunitas lokal seperti karang taruna dan pengurus masjid.
Di sisi lain, kampanye lewat media sosial juga dapat dilakukan untuk membangun kesadaran publik.
“Yang dimaksud substansi kan kepala daerah bukan untuk mengatur jam malamnya, tapi bagaimana orangtua punya pengawasan penuh terhadap aktivitas anak di malam hari,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang