KOMPAS.com - Saronen berasal dari Madura. Saronen kerap digunakan untuk mengiringi karapan sapi.
Saronen juga ditemukan di wilayah lain, seperti Tanah Pasundan (tarompet), Bali (pereret), Sumatera, serta Banyumas (tetepret).
Alat musik tersebut dianggap sebagai ciri khas Madura karena diperkirakan selalu mengiring karapan sapi.
Awalnya saronen berasal dari Timur Tengah. Di daerah tersebut, alat musik tersebut dikenal dengan nama beraneka ragam, yaitu surnai, sarune, sirnai, maupun shahnai.
Di Madura, bunyi saronen telah dimodifikasi.
Dalam salah satu versi menyebutkan konon di Sumenep, kesenian tersebut telah berusia lebih dari 500 tahun yang diciptakan oleh Ki Hatib dari Desa Sendang, Kecamatan Pragaan.
Ia merupakan pendiri pesantren pertama di Madura. Ki Hatib adalah katandur atau berdakwah dalam bidang pertanian.
Baca juga: 8 Wisata Sejarah dan Budaya di Madura, Ada Tempat Nonton Karapan Sapi
Pada saat itu, saronen sebagai sarana dahwah. Instrumen saronen berjumlah sembilan yang merupakan filosofi sembilan suku kata dari Bis Mil La Hir Roh Ma Nir Ro Him.
Pada awalnya, Saronen yang dinamakan Sannenan tersebut selalu dimainkan pada setiap hari Senin di Pasar Ganding, Kecamatan Ganding.
Di Madura, saronen dikaitkan dengan sapi (saat karapan maupun pertandingan kecantikan sapi betina), kuda (untuk upacara ritual di malam keramat maupun upacara pesta perkawinan), serta tarian topeng untuk upacara ritual tertentu (klono).
Instrumen tersebut diikuti dengan dua pelawak yang menari (atandang) sesuai dengan irama musik.
Sesekali dua pelawak tersebut berhenti menari kemudian melantunkan pantun yang bernada dakwah.
Isinya berupa mengajak masyarakat supaya menganut ajaran agama Islam secara benar dan kaffah.
Lama kelamaan, saronen dijadikan sebagai pengiring pengantin, khitanan, rokat, karapan sapi, sapi sonok, dan sebagainya.
Saronen merupakan alat tiup yang berbentuk kerucut. Alat musik yang terbuat dari kayu jati ini memiliki enam lobang berderet di depan dan satu lubang di belakang.