Selain itu, berdasarkan uji analisis mtDNA yang dilakukan laboratorium Human Genetic ITD, Unair diketahui bahwa DNA patahan tulang tersebut 96 - 97 persen sama dengan DNA para tetua yang bermukim di Pandean, Peneleh, Surabaya.
“Jadi, waktu itu ada tiga penduduk tertua di Kawasan kampung sini yang diambil sampel DNA-nya, termasuk ayah saya dan ternyata didapatkan 96-97 persen DNA-nya cocok dengan DNA di patahan tulang itu,” paparnya.
Baca juga: Uniknya Suku Tengger di Kawasan Bromo, Peradaban sejak Zaman Majapahit
Hal tersebut menandakan bahwa patahan tulang itu merupakan milik nenek moyang yang masih ada hubungan kekerabatan dengan penduduk asli Pandean.
“Bisa jadi juga area di sini itu dijadikan pemakaman karena dulu rumah belum sepadat ini, pekarangan rumah masih sangat luas dan setiap ada anggota keluarga yang meninggal pasti dikuburnya di sebelah rumah,” terangnya.
Penemuan Sumur Jobong terungkap secara tidak sengaja saat proyek gorong-gorong untuk pelebaran saluran drainase.
“Wilayah sini kan dulunya setiap hujan selalu banjir, akhirnya waktu pelebaran drainase di sini terus ditemukan sumber mata air yang ternyata sumur,” tuturnya.
Di tengah pengerjaan gorong-gorong, pada 31 Oktober sekitar pukul 18.20 WIB, di kedalaman antara 70-80 centimeter ditemukan sebuah sumber air.
Awalnya, terdapat bibir sumur yang mengelilingi sumber air tersebut yang berbentuk huruf C.
“Nah, waktu itu hadir dari kearsipan Kota Surabaya, kebudayaan, pariwisata, tokoh-tokoh sejarawan dan diketahui kalau sumur ini temuan kuno peninggalan Kerajaan Majapahit,” ujarnya.
Ketika didatangkan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, Mojokerto terungkap bahwa sumur tersebut memiliki kemiripan dengan sumur jobong yang banyak ditemukan di Mojokerto.
Baca juga: Situs Diduga Peninggalan Majapahit di Situbondo Dirusak, Perusahaan Janji Taati Aturan Pemerintah
Kata “Jobong” berasal dari istilah Bahasa Jawa zaman kuno yang berarti kamar atau ruangan.
“Jobong itu juga bisa diartikan sebagai terakota dari tanah liat yang merupakan istilah yang digunakan orang zaman dulu,” terangnya.
Setiap harinya, Agus akan melakukan pengurasan Sumur Jobong agar sirkulasi terus berjalan dan air tetap jernih.
“Sumurnya ini saya kuras setiap hari. Bahkan, misal pagi hujan, siangnya langsung saya kuras, biar nanti ada sirkulasi air yang bersih keluar karena air hujan juga pasti masuk ke dalam sumurnya juga,” terangnya.
Selain itu, ia biasanya juga membakar dupa untuk mengusir hewan kecil dan serangka agar tidak masuk ke dalam sumur sekaligus bentuk penghormatan kepada leluhur.
“Asap dari dupanya itu kan memenuhi ruangan bawah sumur, jadi hewan kecil atau serangga itu enggak masuk ke sumur,” ujarnya.
Penemuan situs Sumur Jobong ini menjadi bukti bahwa sejak dulu Kawasan Pandean, Peneleh, Surabaya sudah digunakan untuk aktivitas masyarakat dan kerajaan Majapahit yang jejaknya memiliki nilai sejarah yang sarat makna.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang