“Di mana dorongan sifat agresif itu lebih besar pada laki-laki karena secara hormonal mereka berbeda,” papar dia.
KBG dapat berupa kekerasan fisik, seksual, psikologis, hingga ancaman dan pembatasan kebebasan yang dilakukan berdasarkan identitas gender korban.
Baca juga: Sudah 13 Hari Nasruddin di Pengungsian Pidie Jaya, Rumah Berlumpur dan Tak Sanggup Bersihkan
“Penyebab terbesar tetap pada faktor sosial, seperti budaya patriarki, ketidaksetaraan gender, rendahnya pendidikan, dan penyalahgunaan kekuasaan,” tegas dia.
Tekanan psikologis akibat kehilangan rumah, harta, atau anggota keluarga juga memengaruhi semua kelompok pengungsi, termasuk perempuan.
Ia menilai bahwa pendekatan empatik adalah kunci dalam memberikan pendampingan.
“Mereka yang membantu harus bisa menempatkan diri pada posisi para pengungsi. Prioritasnya adalah memenuhi kebutuhan paling mendesak, lalu kebutuhan spesifik lainnya,” ujar dia.
Khusus para pengungsi perempuan, kebutuhan mereka perlu terpenuhi sesuai dengan norma-norma yang mereka pegang.
Para penolong perlu mempelajari hal tersebut sebelum terjun ke lapangan.
Agar pengungsian aman dan ramah perempuan, menurut dia, penting dalam memenuhi kebutuhan spesifik perempuan untuk memberikan ruang aman.
Baca juga: Banjir di Tanjung Pura Langkat Berangsur Surut, Warga Mulai Pulang dari Pengungsian
Misalnya memastikan keamanan, privasi, dan martabat mereka tetap terjaga, sesuai dengan norma-norma yang mereka pegang.
Selain itu, perlu juga penyediaan perlengkapan kebersihan yang memadai dan akses mudah ke pelayanan kesehatan, termasuk dukungan kesehatan reproduksi dan psikologis mereka.
“Lebih baik lagi jika ada mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia untuk insiden kekerasan, serta staf yang terlatih dalam pencegahan dan respons terhadap KBG,” tegas dia.
Ulurkan tanganmu membantu korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Di situasi seperti ini, sekecil apa pun bentuk dukungan dapat menjadi harapan baru bagi para korban. Salurkan donasi kamu sekarang dengan klik di sini