SURABAYA, KOMPAS.com - Tidak semua hal dapat dibeli dengan uang. Ungkapan tersebut mungkin sesuai dengan kehidupan Junaedi (54) yang mengaku selalu dilingkupi kebahagiaan, meskipun penghasilan sangat terbatas.
Sekitar 35 tahun, Junaedi menggantungkan hidup sebagai tukang tambal ban di depan salah satu mal di Surabaya, Jawa Timur. Meski begitu, tak pernah sekalipun dia merasa kekurangan atas kehidupannya.
Dia meyakini, salah satu kunci bahagianya adalah rajin shalat malam dan berpuasa Senin- Kamis.
"Yang penting kita taat sama Gusti Allah, pasti diberi kebahagiaan," kata Junaedi saat ditemui Kompas.com, di lapaknya, Jumat (24/1/2025).
Baca juga: 33 Tahun Berjualan Mainan, Juhari Sukses Antarkan Anaknya Jadi Perawat
Menurut Junaedi, ketenangan batin, kesehatan, dan keharmonisan keluarga merupakan definisi dari bahagia yang ia yakini.
"Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Kalau yang kaya aja belum tentu bahagia, jadi kita yang enggak kaya harus bahagia," ucapnya sembari tertawa.
Penghasilan Junaedi pun tak pasti. Jika beruntung dalam sehari dia bisa mendapatkan Rp50.000. Namun, lebih sering tidak ada pelanggan sama sekali, kata dia.
"Istri saya juga bantu jualan nasi bungkus didekat sekolah disana. Jadi sedikit terbantu, yang penting kita sudah berusaha" sambungnya.
Baca juga: 40 Tahun Jalan Kaki Jual Kacang, Suroso Bisa Sekolahkan Anak Jadi Guru
Selain menjadi tukang tambal ban, dulu Junaedi pernah bekerja sebagai tukang becak. Tetapi karena pelanggan yang semakin sepi, akhirnya dia menjual becaknya.
"Semuanya saya coba, yang penting bisa pulang bawa rezeki yang halal," tutur Junaedi.
Namun siapa yang menyangka? Berkat kegigihan dalam bekerja dan doa tanpa henti, Junaedi kini mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
"Meskipun saya lulusan SD (Sekolah Dasar), tapi saya selalu ingin anak saya bisa kuliah," kata dia.
Putrinya, Rahmawati (21) kini sedang menempuh pendidikan untuk meraih gelar sarjana dari jurusan Manajemen di Universitas Bhayangkara, Surabaya.
Baca juga: Cerita Tukang Becak yang Sukses Antarkan Anak hingga Studi S2
Untuk biaya kuliah, Junaedi mengaku harus mengeluarkan uang sebesar Rp1,35 juta per semester. Biaya tersebut dia tanggung sendiri tanpa ada bantuan dari Pemerintah.
"Anak saya sudah pernah coba buat daftar KIP (Kartu Indonesia Pintar), tapi juga enggak pernah lolos, enggak tahu kenapa," kata dia.
Berbagai program beasiswa juga sudah dicoba, tapi selalu gagal. Biar pun begitu, Junaedi selalu tegas melarang anaknya untuk kuliah sambil bekerja.
"Memang tugasnya saya sebagai orangtua untuk mencari nafkah. Sudah, kamu cukup fokus sekolah," ucap dia sambil lagi-lagi tersenyum.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang