Sejak mulai belajar berbicara, Hilya sudah menunjukkan ketertarikannya pada bahasa Inggris. Dari kartu warna hingga gambar hewan, semua dia pelajari dalam bahasa asing itu.
Hasilnya, ketika teman-teman sebayanya masih mengeja kata-kata pertama, Hilya sudah lincah berdialog dalam bahasa yang bukan bahasa ibunya.
Kini, duduk di bangku TK B, kemampuannya semakin menonjol. Bahkan dia adalah satu-satunya anak di desanya yang bisa berbicara bahasa Inggris selancar itu.
Tapi, di balik keistimewaan itu, muncul pula pertanyaan-pertanyaan dari lingkungan sekitar yang membuat orangtuanya berpikir panjang.
“Mau jadi apa nanti anak ini? Apakah cukup sampai di sini?” begitu ucapan tetangga yang sering didengar Iis.
Baca juga: Pertemuan Wali Murid dan Cek Kesehatan Jadi Agenda Awal Sekolah Rakyat Sumenep
Sebagai anak-anak desa, yang hidupnya jauh dari akses pendidikan global, kelebihan Hilya dianggap sesuatu yang langka sekaligus membingungkan.
Namun, bak dua sisi mata uang, kemampuan bahasa Inggris Hilya membawa tantangan tersendiri. Karena terbiasa menggunakan bahasa itu sejak kecil, Hilya justru belum fasih berbahasa Indonesia, dan bahkan tidak bisa berbicara bahasa Madura, meski masih bisa memahaminya.
“Kalau marah sama saya, dia bilang ‘aku marah dari ibu’, belum pas bahasanya,” terang dia.
Meski begitu, keluarga tak ingin keganjilan itu menjadi beban. Mereka memilih untuk mendampingi dan mengoreksi perlahan, percaya bahwa seiring waktu dan interaksi dengan teman-teman sebaya, Hilya akan menyerap bahasa lain secara alami.
Belakangan, Hilya mulai sering bermain dengan teman-temannya, dan dari situlah perlahan dia menyerap kosakata baru dalam bahasa Indonesia dan Madura.
Meski masih terlihat kurang percaya diri, langkah kecil itu menjadi harapan besar bagi keluarganya.
"Sudah mulai sering main dengan temannya, sudah mulai nyaring (bahasa) dari teman-temannya," ungkap Iis.
"Anaknya kurang pede," imbuh dia.
Menurut Iis, di tengah kehidupan desa yang sederhana, Hilya telah membawa cerita luar bagi keluarganya. Dari tempat yang paling jauh dari pusat peradaban sekalipun, mimpi besar bisa tumbuh, dalam bahasa apa pun.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang