SUMENEP, KOMPAS.com – Suasana rumah semi modern itu, di Desa Gadu Barat, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, tampak begitu lengang dan tenang pada Senin (29/9/ 2025).
Sesekali, suara ayam dan sapi peliharaan terdengar memecah keheningan.
Dari dalam rumah, celoteh bahasa Inggris terdengar begitu akrab keluar dari mulut seorang bocah 6 tahun, Nur Hilyatil Karomah.
Saat anak-anak seusianya masih belajar mengeja kata demi kata, Hilya, sapaan akrabnya, justru sudah terbiasa bercakap-cakap dalam bahasa Inggris itu seolah bahasa ibu.
Anak pasangan Moh Hefdzi dan Faizah ini punya satu kesukaan yang khas anak-anak, yakni boneka unicorn berwarna pastel yang dia panggil “Poni” atau “kuda berponi". Boneka itu telah menemaninya sejak usia 4 tahun.
Setiap kali bermain, bahkan saat menjelang tidur, Hilya hampir tak pernah lepas dari “Poni” kesayangannya.
Di sela obrolannya dalam bahasa Inggris, unicorn kecil itu seakan menjadi sahabat setia, tempat dia bercerita dan berimajinasi.
Hilya bukan anak dari kota besar yang tumbuh di lingkungan bilingual. Anak pertama ini tumbuh di desa pelosok, jauh dari hiruk pikuk les bahasa asing atau sekolah internasional.
Namun, di usianya yang baru menginjak 6 tahun, Hilya sudah sangat terampil berbicara dalam bahasa Inggris.
Dia tidak sekadar mengucapkan kosakata dasar seperti warna atau nama hewan, tetapi mampu bertanya jawab, bercerita, bahkan mengobrol dengan orang dewasa.
"Saya juga kepikiran, jadinya bagaimana anak ini kelak?" kata Iis, ibunda Hilya, pelan.
Hilya belajar dari bahasa Inggris dari ibunya. Sejak belajar berbicara, Hilya sudah dikenalkan dengan kosakata bahasa Inggris oleh sang ibu.
Memang, menurut Iis, ada kebanggaan yang tak bisa disembunyikan dari kemampuannya, namun juga terbersit kekhawatiran yang sama besarnya.
Sejak mulai belajar berbicara, Hilya sudah menunjukkan ketertarikannya pada bahasa Inggris. Dari kartu warna hingga gambar hewan, semua dia pelajari dalam bahasa asing itu.
Hasilnya, ketika teman-teman sebayanya masih mengeja kata-kata pertama, Hilya sudah lincah berdialog dalam bahasa yang bukan bahasa ibunya.
Kini, duduk di bangku TK B, kemampuannya semakin menonjol. Bahkan dia adalah satu-satunya anak di desanya yang bisa berbicara bahasa Inggris selancar itu.
Tapi, di balik keistimewaan itu, muncul pula pertanyaan-pertanyaan dari lingkungan sekitar yang membuat orangtuanya berpikir panjang.
“Mau jadi apa nanti anak ini? Apakah cukup sampai di sini?” begitu ucapan tetangga yang sering didengar Iis.
Sebagai anak-anak desa, yang hidupnya jauh dari akses pendidikan global, kelebihan Hilya dianggap sesuatu yang langka sekaligus membingungkan.
Namun, bak dua sisi mata uang, kemampuan bahasa Inggris Hilya membawa tantangan tersendiri. Karena terbiasa menggunakan bahasa itu sejak kecil, Hilya justru belum fasih berbahasa Indonesia, dan bahkan tidak bisa berbicara bahasa Madura, meski masih bisa memahaminya.
“Kalau marah sama saya, dia bilang ‘aku marah dari ibu’, belum pas bahasanya,” terang dia.
Meski begitu, keluarga tak ingin keganjilan itu menjadi beban. Mereka memilih untuk mendampingi dan mengoreksi perlahan, percaya bahwa seiring waktu dan interaksi dengan teman-teman sebaya, Hilya akan menyerap bahasa lain secara alami.
Belakangan, Hilya mulai sering bermain dengan teman-temannya, dan dari situlah perlahan dia menyerap kosakata baru dalam bahasa Indonesia dan Madura.
Meski masih terlihat kurang percaya diri, langkah kecil itu menjadi harapan besar bagi keluarganya.
"Sudah mulai sering main dengan temannya, sudah mulai nyaring (bahasa) dari teman-temannya," ungkap Iis.
"Anaknya kurang pede," imbuh dia.
Menurut Iis, di tengah kehidupan desa yang sederhana, Hilya telah membawa cerita luar bagi keluarganya. Dari tempat yang paling jauh dari pusat peradaban sekalipun, mimpi besar bisa tumbuh, dalam bahasa apa pun.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/09/29/135433978/hilya-bocah-desa-di-sumenep-yang-terampil-berbahasa-inggris-di-usia-6-tahun