“Sebenarnya ya bahasanya bukan sewa, seperti uang rokok gitu karena tidak ditargetkan berapa gitu. Karena buat sandang pangan, ya gimana ya,” ujarnya.
Baca juga: Daop 8 Surabaya Tutup 19 Perlintasan Tak Resmi Selama 2025
Tumini mengakui bahwa sebenarnya tidak boleh menjadi tempat tinggal.
Sehingga dia menjaga dari subuh hingga pukul 22.00 WIB.
Mulanya saat malam tidak ada yang berjaga, lalu ponten umum menjadi kotor dan tidak terawat.
Tidak sedikit masyarakat yang buang air kecil dan besar di lantai ponten.
“Ponten ini kan tidak ada pintunya, orang nakal buang air besar, air kecil itu di pelataran. Takut pompa air itu dicuri juga. Akhirnya kita punya inisiatif (dijaga 24 jam),” tuturnya.
Akhirnya, ibu Tumini yang sudah berusia lanjut kerap berjaga dari malam hingga pagi di ponten ditemani keponakannya.
“Saya kan ada cucu, pagi jaga dia. Jadi malam ibu saya yang di sini,” terangnya.
Kemudian, untuk menambah pendapatan, 5 tahun belakangan Tumini membuka warung sederhana yang satu atap dengan ponten.
Kompor dan perabotan lainnya disediakan di ponten.
“Ya jual kopi, minuman gitu. Karena dulu itu ramai banget 24 jam. Orang duduk, pacaran di taman. Tapi sekarang sepi banget,” jelasnya.
Baca juga: Pemkot Surabaya Beri BPJS untuk 15.350 Driver Ojol, Eri Cahyadi: Pekerjaannya Rentan dan Bahaya
Sebelumnya, Tumini mengaku bisa mendapatkan pendapatan Rp 200.000 sehari dari ponten dan warungnya.
Belakangan maksimal hanya Rp 100.000.
Pendapatan tersebut digunakan Tumini untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, membayar listrik ponten dan biaya perawatan lain ponten.
“Di sini ya gak bersih-bersih saja. Listrik ikut saya, kalau ada apa-apa yang rusak ya manggil orang, diputer uangnya. Tidak apa-apa,” pungkasnya.