Di ujung sudut Taman Ngagel Tirto ini, ponten umum bercat hijau berukuran 4x3 dijaga oleh dua perempuan, Tumini (47) dan ibunya.
Mereka merupakan warga RT 1 RW 2, Lumumba, Kelurahan Ngagel, Kecamatan Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur.
Sehari-hari mereka menjaga, membersihkan, dan menyewa ponten umum taman.
Untuk buang air dan besar setidaknya warga membayar sekitar Rp 2.000.
Namun belakangan, Tumini dan ibunya menjadi perbincangan warganet karena diduga menjadikan ponten umum sebagai tempat tinggal.
Tumini menceritakan, bahwa ia hanya meneruskan pekerjaan suaminya yang sudah dilakoni sejak 2010 karena diminta oleh Jasa Tirta.
“Jasa Tirta yang nyuruh ngelola tempat ini ke suami. Karena sudah almarhum tahun 2013, saya yang meneruskan,” kata Tumini kepada Kompas.com, Rabu (2/7/2025).
Sebelum mengelola ponten, suami Tumini bekerja sebagai hansip kecamatan dan mengenal sejumlah pengurus kelurahan sehingga berujung dia diminta menjaga ponten.
Sementara Tumini menjaga parkiran becak.
Sekadar informasi, sebelum menjadi Taman Ngagel Tirto, dulunya area ini merupakan lahan kosong untuk parkir becak.
“Dulu ada 400 becak yang bisa parkir ini. Terus sejak era Bu Risma (Walikota Surabaya 2010-2020) diubah jadi taman,” ungkapnya.
Pihak Jasa Tirta resah, karena warga kerap buang air dan kotoran lain ke Sungai Jagir.
Sebab air sungai ini akan dikelola menjadi air bersih. Sehingga dibangun lah ponten umum.
Karena menjadikan ponten umum sebagai ladang pekerjaan, Tumini akhirnya membayar sewa ke Jasa Tirta sekitar Rp1 juta per tahun.
“Sebenarnya ya bahasanya bukan sewa, seperti uang rokok gitu karena tidak ditargetkan berapa gitu. Karena buat sandang pangan, ya gimana ya,” ujarnya.
Tumini mengakui bahwa sebenarnya tidak boleh menjadi tempat tinggal.
Sehingga dia menjaga dari subuh hingga pukul 22.00 WIB.
Mulanya saat malam tidak ada yang berjaga, lalu ponten umum menjadi kotor dan tidak terawat.
Tidak sedikit masyarakat yang buang air kecil dan besar di lantai ponten.
“Ponten ini kan tidak ada pintunya, orang nakal buang air besar, air kecil itu di pelataran. Takut pompa air itu dicuri juga. Akhirnya kita punya inisiatif (dijaga 24 jam),” tuturnya.
Akhirnya, ibu Tumini yang sudah berusia lanjut kerap berjaga dari malam hingga pagi di ponten ditemani keponakannya.
“Saya kan ada cucu, pagi jaga dia. Jadi malam ibu saya yang di sini,” terangnya.
Kemudian, untuk menambah pendapatan, 5 tahun belakangan Tumini membuka warung sederhana yang satu atap dengan ponten.
Kompor dan perabotan lainnya disediakan di ponten.
“Ya jual kopi, minuman gitu. Karena dulu itu ramai banget 24 jam. Orang duduk, pacaran di taman. Tapi sekarang sepi banget,” jelasnya.
Sebelumnya, Tumini mengaku bisa mendapatkan pendapatan Rp 200.000 sehari dari ponten dan warungnya.
Belakangan maksimal hanya Rp 100.000.
Pendapatan tersebut digunakan Tumini untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, membayar listrik ponten dan biaya perawatan lain ponten.
“Di sini ya gak bersih-bersih saja. Listrik ikut saya, kalau ada apa-apa yang rusak ya manggil orang, diputer uangnya. Tidak apa-apa,” pungkasnya.
Kini, pendapatan sehari-harinya terancam.
Usai viral, perabotan Tumini dan ibunya di ponten ditertibkan oleh Satpol PP Surabaya dan dilarang digunakan sebagai tempat tinggal.
“Tadi pagi sudah diangkati sama Satpol PP. Dibersihkan taruh rumah,” pungkasnya.
Sementara itu, Kasitrantib Kecamatan Wonokromo, Andi Arvianto mengatakan, setelah dilakukan pemindahan barang serta pembersihan di ponten tersebut, pihaknya secara rutin akan melakukan pengawasan di lokasi tersebut.
“Untuk itu kami dari Satpol PP akan secara rutin melakukan patroli di wilayah ini. Upaya ini kami lakukan untuk mencegah supaya ponten umum ini tidak beralih fungsi lagi,” kata Andi.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/07/02/160339178/tinggal-di-toilet-umum-di-surabaya-sejak-2010-tumini-inisiatif-saja-sambil