Luka yang dialaminya tidak ringan. Kaki kirinya patah di bagi"an betis, jempolnya mati rasa. Kaki kanan luka robek dalam di area tulang kering.
Rasa sakitnya luar biasa, tapi ketakutan malam itu lebih besar dari nyeri yang ia rasakan. Sepulang dari rumah sakit, ia hanya terbaring di kamar selama tiga bulan.
“Saya nggak bisa ke mana-mana. Baru bisa bangun pelan-pelan. Ibu, ayah, dan adik saya bantu."
"Latihan jalan pakai egrang satu. Dituntun terus, pelan-pelan dilepas. Ibu yang paling sering ngasih semangat, tiap hari,” ujar pria yang biasa disapa Bagas.
Pengobatan selanjutnya dilakukan di Sangkal Putung di Singosari. Tidak dicover BPJS atau instansi manapun, tetapi dibantu secara pribadi wali kota yang saat itu dipegang Sutiaji dan Pak Lurah Sukoharjo.
Baca juga: Arema Buka Opsi Tidak Lagi Bermain di Kanjuruhan Usai Insiden Pelemparan Bus Persik Kediri
Hanya cukup empat hingga lima hari terapi di sana, ia sudah bisa berjalan kembali. Namun hingga kini masih merasakan efek luka itu.
“Kalau kecapekan, kaki saya sakit, clekit-clekit. Kalau pakai celana ketat, juga kerasa nyeri. Tapi kalau dingin sih enggak begitu,” imbuhnya.
Kini, ia sudah bisa beraktivitas normal. Bahkan sempat bekerja selama delapan bulan di Bali.
Namun bayang-bayang tragedi tidak benar-benar pergi. Rasa takut, terutama saat melihat kerumunan atau stadion, masih sangat membekas.
“Saya tidak benci Arema, tidak. Cuma ya masih trauma. Teman saya juga ada yang meninggal waktu itu,” katanya.
Sang ibu, Susiati, merupakan sosok yang paling setia mendampingi Bagas Satria sejak awal kejadian.
Hingga saat ini ia belum sepenuhnya tenang dan menjadi jauh lebih protektif. Setiap kali anaknya keluar rumah, terutama jika berkaitan dengan sepak bola, hatinya diliputi kekhawatiran.
Baca juga: Pemkab Malang Tegaskan Komitmen Rawat Kanjuruhan Melalui Kerja Sama dengan Arema FC
“Saya dulu sudah bilang, ‘lapo gas ndelok (kenapa harus nonton)?’ Soalnya lawan Persebaya kan ramai. Waktu dikabarin, saya langsung ke rumah sakit Wava. Saya saking tegangnya sampai ngompol,” ujar ibu yang biasa disapa Susi itu.
“Sampai rumah sakit katanya luka ringan. Tapi anak saya merasa tulangnya patah. Akhirnya terapi sendiri ke Singosari."
"Waktu itu sempat dibantu Pak Walikota dan Pak Lurah. Tapi ya sama salah satu instansi saya jadi benci. Saya cuma berharap, jangan sampai kejadian kayak gini terulang. Cukup sudah,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang