Salin Artikel

1.000 Hari Tragedi Kanjuruhan, Luka Tak Kasatmata di Kaki dan Hati Bagas Satria

Tragedi Kanjuruhan merenggut 135 nyawa dan meninggalkan luka yang belum sembuh, baik bagi keluarga yang kehilangan maupun para penyintas yang masih mencoba berdiri tegak hari ini.

Salah satunya adalah Bagas Satria yang tinggal di Jalan Gatot Subroto, Sukoharjo, Klojen, Kota Malang.

Waktu seakan berjalan lambat bagi Bagas sejak malam itu, luka di kakinya perlahan membaik, tapi tidak demikian dengan ingatan yang terus menghantui.

“Alhamdulillah saya baik, tapi saya masih trauma ke Kanjuruhan. Kemarin sempat ada pertandingan di sana, teman ngajak nonton, saya tolak," ujar pria berusia 21 tahun itu.

"Saya masih takut kejadian itu bisa terulang lagi. Meskipun stadion sudah direnovasi, tapi di mata saya tidak ada yang berubah. Bayangan itu tetap ada,” imbuhnya.

Terjebak di Gate 13, tergantung dalam kepanikan

Seperti diketahui malam itu, ia berada di Tribune 13, salah satu titik paling mencekam. Asap gas air mata menyelimuti udara, dan kekacauan menyapu semua sisi stadion.

Dalam sekejap, tribune yang awalnya penuh semangat berubah jadi lautan ketakutan. Ia berusaha menyelamatkan diri, tapi nasib berkata lain.

“Gas air matanya jatuh tepat di depan kaki saya. Saya langsung naik ke atas. Tapi saat turun ke tangga Gate 13, semua berdesak-desakan. Saya jatuh. Tubuh saya terbalik, kepala di bawah, kaki di atas."

"Saya bergelantungan di tangga. Orang-orang panik, semua sibuk menyelamatkan diri. Saya cuma bisa teriak minta tolong,” tutur Bagas Satria.

Dalam posisi yang mustahil untuk bergerak, ia nyaris kehilangan harapan. Tapi kemudian, seorang Aremania melihatnya dan menariknya ke atas.

Tidak lama, seorang anggota TNI membantu mengevakuasi dan membawanya ke RS Wava Kepanjen.

Namun di sana, alih-alih ditangani cepat, ia justru dibiarkan tanpa perawatan.

“Saya kehilangan kesadaran karena sesak. Tapi sampai jam 4 pagi saya nggak ditangani. Akhirnya pulang."

"Keesokan harinya, orang tua saya melapor ke posko, saya dibawa ke RS Saiful Anwar untuk rontgen. Tapi itu pun tidak dirawat inap, cuma dikasih obat,” sambungnya.

Enam bulan penyembuhan, tiga bulan tak keluar kamar

Luka yang dialaminya tidak ringan. Kaki kirinya patah di bagi"an betis, jempolnya mati rasa. Kaki kanan luka robek dalam di area tulang kering.

Rasa sakitnya luar biasa, tapi ketakutan malam itu lebih besar dari nyeri yang ia rasakan. Sepulang dari rumah sakit, ia hanya terbaring di kamar selama tiga bulan.

“Saya nggak bisa ke mana-mana. Baru bisa bangun pelan-pelan. Ibu, ayah, dan adik saya bantu."

"Latihan jalan pakai egrang satu. Dituntun terus, pelan-pelan dilepas. Ibu yang paling sering ngasih semangat, tiap hari,” ujar pria yang biasa disapa Bagas.

Pengobatan selanjutnya dilakukan di Sangkal Putung di Singosari. Tidak dicover BPJS atau instansi manapun, tetapi dibantu secara pribadi wali kota yang saat itu dipegang Sutiaji dan Pak Lurah Sukoharjo.

Hanya cukup empat hingga lima hari terapi di sana, ia sudah bisa berjalan kembali. Namun hingga kini masih merasakan efek luka itu.

“Kalau kecapekan, kaki saya sakit, clekit-clekit. Kalau pakai celana ketat, juga kerasa nyeri. Tapi kalau dingin sih enggak begitu,” imbuhnya.

Kini, ia sudah bisa beraktivitas normal. Bahkan sempat bekerja selama delapan bulan di Bali.

Namun bayang-bayang tragedi tidak benar-benar pergi. Rasa takut, terutama saat melihat kerumunan atau stadion, masih sangat membekas.

“Saya tidak benci Arema, tidak. Cuma ya masih trauma. Teman saya juga ada yang meninggal waktu itu,” katanya.

Suara ibu, trauma yang tak kunjung usai

Sang ibu, Susiati, merupakan sosok yang paling setia mendampingi Bagas Satria sejak awal kejadian.

Hingga saat ini ia belum sepenuhnya tenang dan menjadi jauh lebih protektif. Setiap kali anaknya keluar rumah, terutama jika berkaitan dengan sepak bola, hatinya diliputi kekhawatiran.

“Saya dulu sudah bilang, ‘lapo gas ndelok (kenapa harus nonton)?’ Soalnya lawan Persebaya kan ramai. Waktu dikabarin, saya langsung ke rumah sakit Wava. Saya saking tegangnya sampai ngompol,” ujar ibu yang biasa disapa Susi itu.

“Sampai rumah sakit katanya luka ringan. Tapi anak saya merasa tulangnya patah. Akhirnya terapi sendiri ke Singosari."

"Waktu itu sempat dibantu Pak Walikota dan Pak Lurah. Tapi ya sama salah satu instansi saya jadi benci. Saya cuma berharap, jangan sampai kejadian kayak gini terulang. Cukup sudah,” pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/06/26/120545078/1000-hari-tragedi-kanjuruhan-luka-tak-kasatmata-di-kaki-dan-hati-bagas

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com