MATARAM, KOMPAS.com - Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar rekonstruksi tempat kejadian perkara (TKP) di dua hotel kawasan Cakranegara, Kota Mataram, terkait tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak.
Dalam kasus tersebut, korban yang masih berusia 13 tahun dan masih duduk di bangku kelas 5 SD diduga 'dijual' oleh kakak kandungnya sendiri hingga korban hamil dan melahirkan.
Dalam rekonstruksi tersebut tim Subdit IV Ditreskrimum Polda NTB menghadirkan dua tersangka.
Yaitu tersangka ES alias M (22) yang merupakan kakak korban dan tersangka MMA alias A (51) seorang pengusaha di Kota Mataram.
Baca juga: Rekonstruksi Kasus Kakak Jual Adik yang Masih SD Digelar di 2 Hotel, Polisi Pakai Boneka Doraemon
Sebelum rekonstruksi digelar, tersangka MAA tampak membuang secarik kertas berisi pesan.
Kejadian berawal saat tersangka MAA tiba di salah satu hotel bintang 4 di Mataram menghadiri rekonstruksi, dikawal ketat tim Jatanras Polda NTB.
Saat berjalan menuju tempat parkir lokasi rekonstruksi berlangsung, MAA tampak merogoh kantong celana dan membuang secarik kertas yang dilipat kecil.
Setelah tersangka berlalu dan melakukan rekonstruksi, sejumlah awak media yang menyaksikan kejadian tersebut lalu memungut kertas yang dibuang oleh tersangka yang ternyata berisi pesan tulisan tangan.
"Memy minta uang Rp 125 juta untuk oknum LPA, dan uang sudah saya berikan. Lebih lanjut hubungi pengacara saya," Isi tulisan dalam secarik kertas yang dibuang tersangka.
Baca juga: Modus Kakak Jual Adik yang Masih SD hingga Hamil di Lombok
Saat dikonfirmasi, Mohamad Sapoan, pengacara tersangka MAA mengatakan bahwa dalam perkara ini kliennya pernah diminta uang sebesar Rp 125 juta oleh tersangka M yang merupakan kakak korban.
"Dalam perkara ini memy meminta uang kepada klien kami sebesar Rp 125 juta dan sudah diberikan melalui transfer dan cash kepada kakak korban," kata Sapoan di Mataram, Jumat.
Selain diberikan kepada tersangka M, tersangka MAA juga memberikan uang sebesar Rp 25 juta kepada H yang juga merupakan kakak dari tersangka M.
Sapoan mengatakan, tersangka M meminta uang tersebut untuk menutupi kasus ini.
"Untuk menutup kasus ini, (permintaan) dari memy langsung, memy menyebut untuk oknum LPA," kata Sapoan.
Baca juga: Kakak Jual Adik ke Pria Hidung Belang di Mataram Ditetapkan Jadi Tersangka
Menurut Sapoan, uang tersebut sudah diberikan kliennya kepada M sebelum kasus ini dilaporkan ke Polda NTB.
"Karena klien kami sudah tidak bisa memberikan uang nah barulah si memy melaporkan klien kami. Jadinya dalam perkara ini klien kami ini merasa diperas oleh si Memy," kata Sapoan.
Sapoan mengaku, pihaknya sudah mengantongi bukti berupa foto, bukti transfer dan bukti kwitansi untuk DP rumah.
"Total lebih dari 125 juta itu," kata Sapoan.
Baca juga: Pulau Panjang Sumbawa Diklaim Dijual Online, Pemda NTB Kaget
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi saat dikonfirmasi menegaskan LPA tidak tahu-menahu terkait pemerasan ini.
"Saya membantah dengan tegas tidak pernah ada permintaan seperti itu, tidak pernah ada permintaan penerimaan apalagi (tidak pernah)," Kata Joko.
Joko menjelaskan, LPA memiliki SOP dalam hal pertemuan-pertemuan baik dengan korban dan para pihak.
Jika ada pertemuan dengan korban maka tim LPA yang turun harus lebih dari 2 orang atau minimal 2 orang dan tidak diperkenankan untuk pertemuan sendirian.
SOP ini diterapkan untuk menghindari adanya fitnah.
"Enggak pernah ada kemudian diperbolehkan tim LPA itu menemui korban satu orang itu tidak diperbolehkan secara SOP, sehingga kita pastikan bahwa itu tidak ada," kata Joko.
Baca juga: 976 Kasus Kekerasan Seksual Terjadi di NTB sepanjang 2024 hingga Awal 2025
Joko mengatakan, tersangka 1 atau M pernah mencoba menanyakan ke LPA jika ingin menghentikan kasus.
Namun dengan tegas, Joko mengatakan bahwa kasus ini sudah berjalan.
"Memang ada beberapa kali M mencoba menanyakan ke LPA kalau mau menghentikan kasus ini berapa, tapi kami sampaikan dengan jelas bahwa kasus ini sudah berjalan," kata Joko.
Joko mengatakan, jika tersangka MAA merasa diperas oleh tersangka M, kenapa kasus ini tidak dilaporkan ke aparat penegak hukum.
"Itu tinggal dibuktikan saja pemerasan dimana kan kalau memang dia merasa diperas kan bisa dilaporkan, kenapa nggak lapor saja biar clear kan," kata Joko.
Joko menegaskan pihak LPA Kota Mataram tidak tahu-menahu soal pemerasan itu.
"Kalau urusan mencatut nama ya sudah sangat sering nama LPA dicatut dimana-mana gitu, tapi yang ini kita pastikan tidak ada," kata Joko.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang