Ronde Titoni menawarkan dua varian utama, ronde basah yaitu bola ketan berisi kacang yang disajikan dengan kuah jahe hangat dan ronde kering tanpa kuah, bola ketannya ditaburi gula bubuk dan kacang tumbuk.
Untuk kuah ini, menggunakan kombinasi jahe pilihan dan gula asli yang menciptakan cita rasa khas yang sulit ditemukan di tempat lain.
"Yang bikin beda ya kuahnya, lebih pedas dan terasa khas," sambungnya.
Selain ronde, ada juga angsle dan kacang kuah, roti goreng, dan cakwe, menu pelengkap yang semakin menambah kenikmatan dengan harga mulai Rp 4.000 sampai Rp 15.000.
Ronde Titoni tidak membuka waralaba kuliner, cabangnya pun terbatas dan hanya dikelola oleh keluarga serta tidak dijual secara online.
Sugeng mengatakan, itu menjadi salah satu cara untuk menjaga eksklusivitas rasa.
“Memang saya buat strategi itu biar orang datang menikmati langsung dan merasakan kepuasannya. Biasanya kalau makanan yang dimakan di lokasi dan dibawa pulang, rasanya kan beda. Mungkin lebih enak di lokasi,” tutur Sugeng Prayitno.
Di usia yang tidak lagi muda, ia mulai menurunkan warisan rasa Ronde Titoni kepada anaknya sebagai generasi ketiga, Yusuf Risky.
Secara bertahap, ia mengajarkan resep dan cara pembuatan kepada sang anak.
Ia juga melakukan edukasi dan kontrol ketat demi kelestarian warisan sang ayah.
“Mereka saya beri tahu cara pembuatan biar rasanya tetap tidak berubah ketika mereka meneruskan. Usaha tetap jalan dan rasa yang tetap,” ujar pria berusia 57 tahun itu.
“Saya juga tetap memantau. Karena kebanyakan usaha yang dilanjutkan generasi selanjutnya cenderung turun. Karena kalau kuliner itu lain tangan, biasanya rasanya berbeda. Tapi kalau dari muda sudah belajar, meskipun rasa tidak sama persis, tapi masih tetap sama tidak jauh,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang