“Klenteng Boen Bio Surabaya ini memiliki perpaduan arsitektur Tiongkok, Belanda, dan Jawa,” kata Wakil Ketua II bidang eksternal Klenteng, Liem Tiong Yang, saat ditemui Kompas.com.
Perpaduan tiga arsitektur ini tak lepas dari perjalanan pembangunan kelenteng yang diinisiasi oleh dua pemuka ajaran Khonghucu, Go Tiek Lie, dan Co Toe Siong.
“Tiongkok sudah pasti. Lalu mengacu pada Belanda karena dibangun di zaman Belanda. Dan, Jawa karena kita tinggal di Tanah Jawa,” kata Liem.
Ia menyebut, sebuah tempat ibadah pasti dibangun dari pengaruh gaya, tradisi, dan budaya di lokasi di mana bangunan ini berdiri.
Bangunan yang berstatus sebagai cagar budaya sejak 2012 ini dibangun pertama kali pada tahun 1883 dengan nama Boen Tjiang Soe.
Artinya, Klenteng Boen Bio Surabaya kini telah berumur 142 tahun.
“Awalnya tidak di sini, tapi di belakang yang sekarang jadi sekolah. Kemudian dimajukan pada tahun 1903, selesai 1906, dan diresmikan tahun 1907,” ucapnya.
Lokasi Pasar Kapasan Surabaya di masa itu sudah menjadi pusat perdagangan di Kota Surabaya.
Sehingga, banyak bangunan pertokoan dan pemukiman penduduk yang mengelilingi kelenteng.
Agar aksesnya tidak menyulitkan para umat, Klenteng Boen Bio sepakat dimajukan.
Sebagaimana yang terlihat sekarang, kelenteng ini berada di tepi Jalan Kapasan.
“Karena kurang representatif rumah ibadah di belakang rumah penduduk, nyempil tidak banyak diketahui orang dan sulit dilihat, maka dimajukan,” katanya.
Baca juga: Imlek 2025, Klenteng Siu Hok Bio Jadi Ikon Budaya Tionghoa di Semarang
Meski dimajukan, struktur dan bahan baku bangunan sebagian besar asli sama seperti pertama kali berdiri.
Di lokasi lama, hanya menyisakan lantai merah yang terlihat sedikit lapuk termakan usia.
Selain itu, yang membedakan Klenteng Boen Bio dengan rumah ibadah umat Khonghucu lainnya di Surabaya terlihat pada bagian altar yang tidak berupa patung, melainkan papan nama bertuliskan aksara shinji.