Selain saat waktu ibadah, pagar merah tersebut selalu tertutup rapat.
Akan tetapi, pengunjung bisa masuk melalui gang kecil yang berada di dua sisinya.
Dua pilar dengan dasar warna merah khas Tiongkok dihiasi pahatan berbentuk naga emas berdiri kokoh di halaman kelenteng.
Pilar ini menjadi simbol kemakmuran, keberuntungan, dan kesejahteraan.
Aksara-aksara shinji berwarna hitam tertempel di dinding dan atas pintu penuh dengan makna filosofis.
Tulisan-tulisan yang sulit dipahami orang awam ini terlihat fotogenik.
Kemudian, saat berjalan mendekat ke bagian altar, Anda akan merasa sedikit menemukan perbedaan.
Altar Klenteng Boen Bio Surabaya dan ruangan utama umat dipisahkan dengan gebyok.
Gebyok yang terbuat dari kayu dihias ukiran-ukiran seni menjulang berdiri kokoh.
Arsitektur tradisional ini lazim ditemui pada bangunan-bangunan khas Jawa.
Empat penyangganya dan bagian atas pintu tengah dihias huruf shinji seolah memperlihatkan kuatnya unsur akulturasi Tiongkok dan Jawa.
Tak cukup sampai di situ. Ubin kuno berbentuk ketupat dengan corak bunga biru ditutup garis cokelat tua, khas ukiran Belanda.
Pada bagian plafon kelenteng terkesan teduh meski berada di tengah-tengah panasnya Surabaya.
Wujud akulturasi yang sangat ciamik menunjukkan sikap toleransi juga bisa ditampilkan melalui bentuk bangunan bersejarah.
“Klenteng Boen Bio Surabaya ini memiliki perpaduan arsitektur Tiongkok, Belanda, dan Jawa,” kata Wakil Ketua II bidang eksternal Klenteng, Liem Tiong Yang, saat ditemui Kompas.com.
Perpaduan tiga arsitektur ini tak lepas dari perjalanan pembangunan kelenteng yang diinisiasi oleh dua pemuka ajaran Khonghucu, Go Tiek Lie, dan Co Toe Siong.
“Tiongkok sudah pasti. Lalu mengacu pada Belanda karena dibangun di zaman Belanda. Dan, Jawa karena kita tinggal di Tanah Jawa,” kata Liem.
Ia menyebut, sebuah tempat ibadah pasti dibangun dari pengaruh gaya, tradisi, dan budaya di lokasi di mana bangunan ini berdiri.
Bangunan yang berstatus sebagai cagar budaya sejak 2012 ini dibangun pertama kali pada tahun 1883 dengan nama Boen Tjiang Soe.
“Awalnya tidak di sini, tapi di belakang yang sekarang jadi sekolah. Kemudian dimajukan pada tahun 1903, selesai 1906, dan diresmikan tahun 1907,” ucapnya.
Lokasi Pasar Kapasan Surabaya di masa itu sudah menjadi pusat perdagangan di Kota Surabaya.
Sehingga, banyak bangunan pertokoan dan pemukiman penduduk yang mengelilingi kelenteng.
Agar aksesnya tidak menyulitkan para umat, Klenteng Boen Bio sepakat dimajukan.
Sebagaimana yang terlihat sekarang, kelenteng ini berada di tepi Jalan Kapasan.
“Karena kurang representatif rumah ibadah di belakang rumah penduduk, nyempil tidak banyak diketahui orang dan sulit dilihat, maka dimajukan,” katanya.
Meski dimajukan, struktur dan bahan baku bangunan sebagian besar asli sama seperti pertama kali berdiri.
Di lokasi lama, hanya menyisakan lantai merah yang terlihat sedikit lapuk termakan usia.
Selain itu, yang membedakan Klenteng Boen Bio dengan rumah ibadah umat Khonghucu lainnya di Surabaya terlihat pada bagian altar yang tidak berupa patung, melainkan papan nama bertuliskan aksara shinji.
“Kalau diterjemahkan, papan arwah yaitu nama-nama yang disembayangi atau dihormati. Nama Nabi Kongzi dan murid-muridnya,” tuturnya.
Selain itu, Klenteng Boen Bio Surabaya menjadi tempat ibadah khusus umat Khonghucu, bukan untuk umat Buddha dan Tao.
“Kalau kelenteng lain Tri Dharma, Boen Bio khusus untuk Khonghucu dan bisa dibilang ini sentralnya,” ucapnya.
Lalu, yang sulit ditemukan di daerah lain dari kelenteng ini adalah sosok lukisan wajah Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, terpanjang di sisi kanan ujung ruang doa kelenteng.
“Kita menaruh foto Gus Dur di sini sebagai penghormatan kepada Beliau atas pembelaan kepada umat Khonghucu,” ucapnya.
Bagi umat Khonghucu di Indonesia, sosok Gus Dur memang memiliki tempat istimewa tersendiri.
Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur menghapus pembatasan-pembatasan kegiatan keagamaan umat Khonghucu yang saat itu terdiskriminasi melalui kebijakan pemerintahan.
“Supaya kita juga bisa cerita ke generasi berikutnya, jangan sampai melupakan Gus Dur. Beliau bukan hanya tokoh dalam masyarakat Islam, tetapi juga membela umat Khonghucu yang minoritas,” kata dia.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/01/28/190342778/menengok-arsitektur-klenteng-boen-bio-surabaya-yang-bergaya-tiongkok-jawa