SUMENEP, KOMPAS.com - Tidak ada terumbu karang yang mampu selamat dari ancaman potasium. Termasuk terumbu karang yang membentang di perairan Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
Pembina Karang Taruna Persada di Desa Sadulang, Kecamatan Pulau Sapeken, Rizal Mahsyar mengatakan, hampir seluruh wilayah laut di desanya berada dalam ancaman potasium.
Setiap hari, sejak 30 tahun terakhir, para nelayan dengan leluasa menggunakan potasium untuk menangkap ikan di perairan Desa Sadulang yang terdiri dari beberapa pulau di antaranya Pulau Sadulang Kecil, Saluar, Sadulang Besar dan beberapa pulau kecil yang tidak berpenghuni.
Baca juga: Efek Racun Potasium Mbah Slamet untuk Bunuh 12 Orang, Korban Muntah dan Tewas dalam 5 Menit
Padahal, daya rusak potasium terhadap karang begitu besar. Membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkannya.
"Kalau karang sudah mati (karena dampak potasium) sulit untuk tumbuh lagi, Mas. Setiap tahun maksimal tumbuh sekitar satu sampai dua sentimeter saja," ungkap Rizal kepada Kompas.com, Senin (20/1/2025).
Rizal menambahkan, selain merusak karang, potasium juga merusak jaring-jaring makanan dan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan.
Baca juga: 600 Prajurit TNI AL Bongkar Pagar Laut Ilegal di Tangerang yang Rugikan Nelayan
Rusaknya terumbu karang juga mempengaruhi kualitas ikan yang ada di perairan tersebut. Jenis ikan seperti ikan kerapu sulit ditemukan.
"Kalau karangnya dan jaring makanannya rusak, ikan yang bagus tidak akan mendekat," tambahnya.
Menurut Rizal, penggunaan potasium oleh para nelayan di Kepulauan Sapeken, khususnya di Desa Sadulang, sudah menjadi ancaman yang serius. Setiap hari, nelayan yang menggunakan potasiun mudah ditemukan di wilayahnya.
"Kalau di Desa Sadulang, setiap hari ada sekitar 10 perahu nelayan menggunakan potasium," jelasnya.
Rizal meyakini, hingga saat ini para nelayan yang ada di 11 desa di Kecamatan Pulau Sapeken masih menggunakan potasium untuk menangkap ikan.
Sebab, kesadaran nelayan atas dampak penggunaan potasium masih sangat rendah dan para nelayan hanya mementingkan agar tangkapan ikannya melimpah.
"Para nelayan ingin mendapatkan ikan dengan mudah, tanpa memikirkan dampaknya (ke depan)," keluhnya.
Ket. Foto: Suasana di pesisir desa Sadulang yang tenang"Ada beberapa nelayan yang tahu bahwa potasium dilarang, karena merusak, tapi mereka tetap menggunakannya," terang Rizal.
Akibat masifnya kerusakan ekosistem laut di Desa Sadulang, kini para nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan ikan.
Mereka harus melaut ke utara Pulau Sapeken, yang harus ditempuh sekitar tiga sampai empat jam perjalanan menggunakan perahu.
"Karena yang dekat-dekat sudah rusak (karangnya)," katanya.
Baca juga: Homestay Kasur Pasir, Berlibur Sambil Terapi Kesehatan di Sumenep
Pj Kepala Desa Sadulang, Sapuli, menepis bahwa nelayan yang menggunakan potasium saat menangkap ikan adalah warga desa setempat.
"Kemungkinan dari desa tetangga yang menangkap ikan di wilayah kami (menggunakan potasium)," katanya.
Memasuki tahun kedua sebagai Pj kades, Sapuli mengaku tidak pernah ada sosialisasi dari pihak berwenang tentang bahaya potasium atau penyelamatan ekosistem laut secara umum.
"Terakhir tahun 2015 ada inisatif dari desa untuk melakukan patroli laut, sekarang sudah tidak ada lagi," ingatnya.
Baca juga: Dibekuk, 2 Pemuda yang Gelar Pesta Sabu di Taman Jajanan Rakyat Sumenep
Sementara itu, Camat Kepulauan Sapeken, Aminullah meyakini, para nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan potasium terjadi di seluruh wilayah kepulauan Sumenep.
"Hampir secara keseluruhan kalau di wilayah kepulauan. Pemanfaatan itu (potasium)," kata Aminullah saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (20/1/2025).
Maskipun penggunaan potasium marak terjadi, Aminullah menyatakan bahwa bahan sianida yang merusak ekosistem laut itu tidak dijual bebas di wilayah Kecamatan Pulau Sapeken.
"Di Sapeken belum ada yang memasarkan (potasium) secara bebas. Kami bisa pastikan itu," tegasnya.
Namun demikian, Aminullah enggan untuk menduga-duga dari mana bahan potasium tersebut didatangkan. Dia hanya menyatakan bahwa ada sebagian nelayan di Pulau Sapeken yang menangkap ikan lintas kabupaten bahkan provinsi.
Menurutnya, penggunaan potasium saat menangkap ikan seharusnya segera dihentikan. Sebab dampak dari kerusakannya akan terasa hingga lima sampai sepuluh tahun ke depan.
"Jangan tukar masa depan anak cucu kita dengan kepentingan sesaat," harapnya.
Dulu mencari ikan untuk lauk pauk sangat mudah dan dekat dari bibir pantai. Namun hari ini nelayan harus menempuh jarak yang jauh untuk bisa mendapatkan ikan.
Aminullah menyebut, upaya pencegahan seperti penyuluhan ke sejumlah desa, terutama yang para nelayannya diduga sering menggunakan potasium, sudah sering dilaksanakan.
Penyuluhan itu digelar dengan melibatkan lintas sertor antara pihak kecamatan, TNI, Polri, kepala desa dan nelayan.
"Sekarang nelayan yang menggunakan potasium sudah menurun," klaimnya.
Ilustrasi nelayan."Saat ada yang tertangkap, kami selalu kawal proses hukumnya. Terakhir antara tahun 2022 dan 2023 ada nelayan yang ditangkap," jelasnya.
Kapolsek Sapeken, Iptu Taufik Rahman menegaskan, setiap nelayan yang menggunakan potasium saat menangkap ikan telah melanggar hukum. Sebab potasium dilarang.
"Kami akan terus berusaha menindak tegas nelayan yang gunakan potasium. Sebab itu merusak ekosistem laut," jelasnya.
Taufik juga berharap seluruh pihak berperan aktif dalam meminimalisasi penggunaan potasium yang masih terjadi secara masif dan turun-temurun.
Menyelamatkan ekosistem laut di Desa Sadulang sudah sangat mendesak. Tanggung jawab tersebut salah satunya diemban oleh Karang Taruna Persada yang telah dibentuk sejak tahun 2017.
Karang Taruna ini telah memiliki sekitar 40 lebih anggota yang mayoritas adalah nelayan dan secara usia masih muda. Sejak dibentuk delapan tahun yang lalu, karang taruna ini terus aktif mengkampayekan gerakan menangkap ikan tanpa potasium.
Sejumlah cara telah mereka lakukan untuk mengkampanyekan gerakan tersebut. Di antaranya menempelkan poster yang berisi informasi bahaya potasium bagi ekosistem laut.
Puluhan poster tersebut ditempel di sejumlah dusun, yang biasanya sering dilewati oleh para nelayan yang akan menangkap ikan.
Mereka secara berkala juga melakukan transplantasi karang di sejumlah area yang sudah rusak akibat potasium dan juga aktif menanam mangrove.
Pembina Karang Taruna Persada, Rizal Mahsyar menyatakan, yang paling mendesak adalah adanya aturan ketat, semisal peraturan desa (perdes) yang melarang pengunaan potasium saat menangkap ikan di laut.
Selain berisi larangan, aturan tersebut juga harus disertai sanksi tegas bagi nelayan yang melanggar. Sebab, selama ini maraknya penggunaan potasium juga dikarenakan tidak adanya sanksi tegas bagi nelayan yang menggunakannya.
"Dulu di Sadulang aturannya pernah ada. Pernah juga patroli. Tapi hanya sebentar," jelasnya.
Rizal juga berharap agar pengusaha keramba untuk tidak membeli ikan tangkapan nelayan yang menggunakan potasium.
"Sekarang masih dibeli semuanya, yang pakai potasium atau hasil memancing, semuanya dibeli," kata Rizal.
Menurutnya, saat pengusaha keramba tidak membeli ikan dari nelayan yang menggunakan potasium, hal itu bisa menjadi salah satu upaya untuk menekan penggunaan potasium di laut Pulau Sadulang.
"Kalau ikan yang hasil potasium juga dibeli, jadi susah, mata rantainya akan terus bekerja," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang