“Karena dulu pada 1945 terdampak kerusuhan perjuangan kemerdekaan. Di Jembatan Merah terjadi kerusuhan, dan dulu terbakar,” ungkapnya.
Ghea tidak tahu pasti penyebab gereja terbakar saat itu. Sebab, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya terjadi begitu dahsyat, ledakan di mana-mana membuat bangunan-bangunan di sekililingnya ikut hancur.
“Kurang tahu antara dibom atau bagaimana. Tapi yang jelas yang tersisa bagian tembok, jadi temboknya ini masih asli,” terangnya.
Baca juga: Sejarah Gereja Katedral Semarang, Saksi Perjuangan Kemerdekaan RI
Mengutip dari laman Keuskupan Surabaya yang menerjemahkan sebuah manuskrip tentang sejarah Gereja Katolik Roma di Surabaya, disebutkan pembangunan gereja berkat sumbangan yang dikumpulkan dari warga sekitar.
Meski mengalami dua kali renovasi, tak mengurangi keontetikan bangunan yang bergaya Eropa. Menara menjadi ciri khas paling menonjol.
“Bangunan ini bergaya Neo-Gothic. Di luar seperti menara tetapi di dalamnya seperti kubah. Itu ciri khasnya,” bebernya.
Ghea mulai detail menceritakan setiap sisi dinding gereja. Seperti jendela yang berukuran lebar membentuk matahari. Kala sinar mentari muncul, akan menyetuh bagian altar melewati celah-celah kaca.
Umurnya kini sudah menginjak 214 tahun. Bangunannya kokoh dan menjadi saksi bisu terhadap perjuangan pastor-pastor asal Belanda saat menginjakkan kaki di Surabaya.
“Gereja ini mulai menjadi cagar budaya tahun 1998. Sejak saat itu mulai banyak yang kenal dan menjadi jalan baru bagi gereja kami,” tuturnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang