Yulius dan kawan-kawannya memilih tak berharap banyak terhadap kepada Menteri HAM, Natalius Pigai dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Bahlil Lahadalia.
“Mau kami setuju atau tidak kami tidak ambil pusing. Mau dia jadi Menteri HAM atau tidak, dia bagian daripada sistem,” ungkapnya.
Baca juga: 10 Desember Diperingati Hari HAM Sedunia, Ini Tema, Sejarah, dan Link Twibbonnya
Di Hari HAM ini, dia bersama mahasiswa Papua lainnya berharap Presiden Prabowo Subianto bersedia membuka ruang demokrasi untuk masyarakat Papua.
“Yang ingin saya sampaikan secara fundamental, yaitu menentukan nasibnya sendiri sebagai hak Bangsa Indonesia. Kan itu sudah diakui secara konstitusi,” ujar dia.
Sudah genap empat tahun Yulius menjadi anak rantau di Surabaya sejak berstatus sebagai mahasiswa aktif Fakultas Teknik di salah satu kampus swasta di Surabaya.
Tidak jarang dia dan kawan-kawannya mendapat perlakuan diskriminasi di ruang umum. Salah satunya saat mengantre di stasiun, Yulius diminta menjaga jarak dengan pelanggan lain.
“Terus teman-teman kalau mau cari kos itu katanya sudah penuh padahal masih ada (tersedia),” keluh dia.
Namun, dia bersyukur jika kumpulan pelajar yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua di Surabaya dapat tinggal di satu asrama yang sama.
“Di sini sekarang kami aman, nggak ada protes dari warga. Malah sering kalau ada kegiatan kami diundang sama RT/RW dan kami dikirimin makanan,” cetus dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang