Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani di Lumajang Masih Jauh dari Sejahtera meski Harga Beras Naik

Kompas.com, 4 Maret 2024, 20:55 WIB
Miftahul Huda,
Farid Assifa

Tim Redaksi

LUMAJANG, KOMPAS.com - Sebagai negara agraris, tentu banyak warga Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Tidak terkecuali warga Lumajang.

Ironisnya, saat harga beras yang notabene adalah produk turunan dari hasil pertanian, para petani padi di Lumajang masih jauh dari kesejahteraan.

Salah satunya Suhartono, petani padi di Desa Tukum, Kecamatan Tekung, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Suhartono harus menggeluti pekerjaan lain sebagai sampingan. Sebab, meski harga beras melambung tinggi di pasaran, harga jual gabah masih tergolong rendah.

Baca juga: Cerita Petani Cirebon yang Cari Rongsok karena Sawahnya Terdampak El Nino

Sebagai informasi, harga beras di Pasar Baru Lumajang pada Senin (4/3/2024) mencapai Rp 16.000 per kilogram. Sedangkan, harga gabah kering berada pada harga Rp 6.800 per kilogram.

Menurut Edi, beberapa bulan lalu saat harga beras masih Rp 7.200 per kilogram, ia hanya memperoleh keuntungan bersih Rp 3 juta dari hasil bertani di lahan seluas 0,5 hektare.

Padahal, ia harus menghidupi istri dan dua anaknya yang sedang menempuh pendidikan kelas menengah atas.

"Panen yang kemarin dapatnya bersih itu 3 juta, itu dibagi 3 bulan kan nggak cukup buat sehari-hari," kata Suhartono di Lumajang, Senin (4/3/2024).

"Kalau sekarang turun (harga gabah) ya harapannya beras ikut turun supaya biaya setiap hari tidak terlalu tinggi," lanjutnya.

Suhartono memang sengaja tidak menyisihkan gabah untuk dikonsumsi sendiri setiap hari.

Sebab, dari hasil jual semua gabah yang ia punya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Sehingga, meskipun ia bertani, ia tetap harus membeli beras dengan harga yang cukup tinggi di pasaran.

"Ya, setiap hari beli, kalau hasil panen memang langsung dijual karena kan hasilnya juga gak banyak," terangnya.

Suhartono pun memilih bekerja serabutan untuk membantu mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

Mulai dari menjual bambu di pinggir jalan hingga menjual hasil perkebunan seperti sayur dan cabai di pasar.

"Saya satu petak itu ditanami cabai kadang sayur itu saya jual juga di pasar, kalau belum panen gini ya jual bambu buat nutupi kekurangan biaya setiap harinya," cerita Suhartono.

Baru tanam padi

Salah satu petani lainnya, Murtini asal Desa Blukon, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang, malah tidak sempat menikmati harga gabah yang naik pada awal tahun ini.

Pasalnya, saat ini ia baru bisa menanam padi karena sawahnya kekurangan air akibat bencana El Nino yang menerpa Kabupaten Lumajang beberapa bulan terakhir.

Sehingga, ia baru mulai menanam padi saat sawahnya mulai diguyur hujan.

"Baru ada hujan jadi baru berani tanam, kalau kemarin nggak berani karena nggak ada hujan, takut airnya nggak ada malah mati tanamannya," kata Murtini.

"Jadi kalau katanya harga gabah naik karena beras mahal ya belum tahu rasanya," jelas Murtini.

Selama tidak menanam padi, Murtini menggantungkan hidupnya dari berjualan kopi di gubuk berukuran 1x2 meter yang ia bangun dari anyaman bambu.

Tempatnya tidak jauh dari sawah miliknya. Meski hasilnya tidak banyak, setidaknya, hasil jual kopi itu bisa membantu mencukupi kebutuhannya.

Pelanggannya adalah para buruh tani dan petani lain yang memiliki mesin diesel untuk memompa air.

"Lumayan bisa bawa uang Rp 30.000 sehari. Yang beli ya buruh (tani), kadang yang punya sawah juga kalau pas lihat sawahnya," ujar Murtini.

Beras mahal harga gabah turun

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lumajang Arif Budiman mengatakan, sebelumnya harga gabah kering panen (GKP) diketahui berada pada Rp 8.000 per kilogram.

Baca juga: Kehidupan Petani di Tasikmalaya yang Jauh dari Sejahtera

Namun, mulai seminggu yang lalu, harganya perlahan turun hingga menyentuh Rp 6.800 per kilogram.

"Harga gabah kering panen saat ini mulai turun, kalau gak salah sekarang di harga Rp 6.800-an, kalau sebelumnya bisa sampai Rp 8.000 per kilonya," kata Arif di kantornya, Senin (4/3/2024).

Arif menyebut, turunnya harga GKP, salah satunya dipengaruhi oleh pertanian di Jawa Tengah mulai memasuki masa panen.

Sayang, turunnya harga gabah tidak berbanding lurus dengan harga beras di pasaran yang tetap tinggi.

Menurut Arif, harga yang tetap tinggi itu lantaran beras-beras yang beredar di pasaran Lumajang bukan berasal dari produk pertanian warga lokal.

Produk lokal Lumajang, kata Arif, dikirim ke luar kota seperti Jember, Banyuwangi, Probolinggo, hingga Bali.

Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, berasnya berasal dari kota lain.

"Masalahnya beras yang di sini (Lumajang)  dikirim ke luar, jadi yang ada di pasaran bukan beras kita," terang arif.

Jumlah lahan menurun

Arif mengakui, lahan pertanian di Lumajang jumlahnya terus menurun.

Total, hanya ada tiga ribu hektar lahan pertanian diluar lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) Lumajang yang jumlahnya 32.000 hektare.

Pemerintah sejatinya telah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Dalam Perda, telah dimasukkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) seluas 32.000 hektare yang tidak boleh dialihfungsikan.

"Lahan pertanian kita juga terus menyusut banyak jadi perumahan dan bangunan lainnya, sehingga produksi kita juga menurun dari tahun ke tahun," jelasnya.

Masalah lain yang dihadapi petani terkait menurunnya produksi pertanian adalah kesuburan tanah.

Banyak petani yang masih memaksakan menanam padi dan tidak pernah mengganti ke tanaman lainnya.

Padahal, idealnya 3 kali masa panen dalam setahun salah satunya harus diganti dengan tanaman palawija seperti kacang, jagung, dan ubi.

Tidak hanya itu, petani juga masih bergantung ke pupuk kimia dan enggan beralih ke pupuk organik.

Sehingga, keasaman tanah meningkat dan kesuburannya menurun. Akibatnya, hasil produksi pertanian tidak maksimal.

Kata Arif, selain rutin mendampingi petani dengan penyuluhan, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian juga terus mendorong para petani untuk beralih ke pertanian organik.

Baca juga: Kisah Petani Padi di Sumbawa Semakin Terhimpit Mahalnya Biaya Produksi

Saat ini, hanya ada dua kelompok tani yang sudah mendapatkan sertifikasi pertanian organik. Yakni kelompok tani di Kecamatan Candipuro dan Kecamatan Jatiroto.

"Kita ingin semua petani beralih ke pupuk organik supaya hasil pertaniannya bisa meningkat dan petani bisa sejahtera," pungkasnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Kesaksian Tour Leader di Bangsring Banyuwangi: Pelaku Ancam, Jika Tak Bayar, Bus Tak Bisa ke Luar
Kesaksian Tour Leader di Bangsring Banyuwangi: Pelaku Ancam, Jika Tak Bayar, Bus Tak Bisa ke Luar
Surabaya
Sebagian Rombongan Wisata Korban Pemalakan di Bangsring Underwater Banyuwangi Ternyata Lansia
Sebagian Rombongan Wisata Korban Pemalakan di Bangsring Underwater Banyuwangi Ternyata Lansia
Surabaya
Banjir Genangi Jalan Pantura Baluran Situbondo, Arus Lalu Lintas Melambat
Banjir Genangi Jalan Pantura Baluran Situbondo, Arus Lalu Lintas Melambat
Surabaya
Rombongan Wisatawan Disandera dan Dipalak Rp 150.000, Pemkab Banyuwangi: Pelaku Bukan Pengelola Resmi
Rombongan Wisatawan Disandera dan Dipalak Rp 150.000, Pemkab Banyuwangi: Pelaku Bukan Pengelola Resmi
Surabaya
Pelaku Pungli 'Uang Pengawalan' Bus Wisata di Banyuwangi Dikenai Sanksi Wajib Lapor
Pelaku Pungli "Uang Pengawalan" Bus Wisata di Banyuwangi Dikenai Sanksi Wajib Lapor
Surabaya
Ditangkap Polisi, 2 Pelaku Pungli Bus Pariwisata di Banyuwangi Minta Maaf
Ditangkap Polisi, 2 Pelaku Pungli Bus Pariwisata di Banyuwangi Minta Maaf
Surabaya
Polisi Ciduk 2 Penyandera Bus Wisata di Banyuwangi, Pengakuan Pelaku: Beli Sembako untuk Warga
Polisi Ciduk 2 Penyandera Bus Wisata di Banyuwangi, Pengakuan Pelaku: Beli Sembako untuk Warga
Surabaya
Bus Pariwisata di Banyuwangi Ditahan Preman karena Tak Bayar 'Uang Pengawalan', Penyandera Ditangkap
Bus Pariwisata di Banyuwangi Ditahan Preman karena Tak Bayar "Uang Pengawalan", Penyandera Ditangkap
Surabaya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau