Salin Artikel

Petani di Lumajang Masih Jauh dari Sejahtera meski Harga Beras Naik

Ironisnya, saat harga beras yang notabene adalah produk turunan dari hasil pertanian, para petani padi di Lumajang masih jauh dari kesejahteraan.

Salah satunya Suhartono, petani padi di Desa Tukum, Kecamatan Tekung, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Suhartono harus menggeluti pekerjaan lain sebagai sampingan. Sebab, meski harga beras melambung tinggi di pasaran, harga jual gabah masih tergolong rendah.

Sebagai informasi, harga beras di Pasar Baru Lumajang pada Senin (4/3/2024) mencapai Rp 16.000 per kilogram. Sedangkan, harga gabah kering berada pada harga Rp 6.800 per kilogram.

Menurut Edi, beberapa bulan lalu saat harga beras masih Rp 7.200 per kilogram, ia hanya memperoleh keuntungan bersih Rp 3 juta dari hasil bertani di lahan seluas 0,5 hektare.

Padahal, ia harus menghidupi istri dan dua anaknya yang sedang menempuh pendidikan kelas menengah atas.

"Panen yang kemarin dapatnya bersih itu 3 juta, itu dibagi 3 bulan kan nggak cukup buat sehari-hari," kata Suhartono di Lumajang, Senin (4/3/2024).

"Kalau sekarang turun (harga gabah) ya harapannya beras ikut turun supaya biaya setiap hari tidak terlalu tinggi," lanjutnya.

Suhartono memang sengaja tidak menyisihkan gabah untuk dikonsumsi sendiri setiap hari.

Sebab, dari hasil jual semua gabah yang ia punya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Sehingga, meskipun ia bertani, ia tetap harus membeli beras dengan harga yang cukup tinggi di pasaran.

"Ya, setiap hari beli, kalau hasil panen memang langsung dijual karena kan hasilnya juga gak banyak," terangnya.

Suhartono pun memilih bekerja serabutan untuk membantu mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

Mulai dari menjual bambu di pinggir jalan hingga menjual hasil perkebunan seperti sayur dan cabai di pasar.

"Saya satu petak itu ditanami cabai kadang sayur itu saya jual juga di pasar, kalau belum panen gini ya jual bambu buat nutupi kekurangan biaya setiap harinya," cerita Suhartono.

Baru tanam padi

Salah satu petani lainnya, Murtini asal Desa Blukon, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang, malah tidak sempat menikmati harga gabah yang naik pada awal tahun ini.

Pasalnya, saat ini ia baru bisa menanam padi karena sawahnya kekurangan air akibat bencana El Nino yang menerpa Kabupaten Lumajang beberapa bulan terakhir.

Sehingga, ia baru mulai menanam padi saat sawahnya mulai diguyur hujan.

"Baru ada hujan jadi baru berani tanam, kalau kemarin nggak berani karena nggak ada hujan, takut airnya nggak ada malah mati tanamannya," kata Murtini.

"Jadi kalau katanya harga gabah naik karena beras mahal ya belum tahu rasanya," jelas Murtini.

Selama tidak menanam padi, Murtini menggantungkan hidupnya dari berjualan kopi di gubuk berukuran 1x2 meter yang ia bangun dari anyaman bambu.

Tempatnya tidak jauh dari sawah miliknya. Meski hasilnya tidak banyak, setidaknya, hasil jual kopi itu bisa membantu mencukupi kebutuhannya.

Pelanggannya adalah para buruh tani dan petani lain yang memiliki mesin diesel untuk memompa air.

"Lumayan bisa bawa uang Rp 30.000 sehari. Yang beli ya buruh (tani), kadang yang punya sawah juga kalau pas lihat sawahnya," ujar Murtini.

Beras mahal harga gabah turun

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lumajang Arif Budiman mengatakan, sebelumnya harga gabah kering panen (GKP) diketahui berada pada Rp 8.000 per kilogram.

Namun, mulai seminggu yang lalu, harganya perlahan turun hingga menyentuh Rp 6.800 per kilogram.

"Harga gabah kering panen saat ini mulai turun, kalau gak salah sekarang di harga Rp 6.800-an, kalau sebelumnya bisa sampai Rp 8.000 per kilonya," kata Arif di kantornya, Senin (4/3/2024).

Arif menyebut, turunnya harga GKP, salah satunya dipengaruhi oleh pertanian di Jawa Tengah mulai memasuki masa panen.

Sayang, turunnya harga gabah tidak berbanding lurus dengan harga beras di pasaran yang tetap tinggi.

Menurut Arif, harga yang tetap tinggi itu lantaran beras-beras yang beredar di pasaran Lumajang bukan berasal dari produk pertanian warga lokal.

Produk lokal Lumajang, kata Arif, dikirim ke luar kota seperti Jember, Banyuwangi, Probolinggo, hingga Bali.

Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, berasnya berasal dari kota lain.

"Masalahnya beras yang di sini (Lumajang)  dikirim ke luar, jadi yang ada di pasaran bukan beras kita," terang arif.

Jumlah lahan menurun

Arif mengakui, lahan pertanian di Lumajang jumlahnya terus menurun.

Total, hanya ada tiga ribu hektar lahan pertanian diluar lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) Lumajang yang jumlahnya 32.000 hektare.

Pemerintah sejatinya telah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Dalam Perda, telah dimasukkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) seluas 32.000 hektare yang tidak boleh dialihfungsikan.

"Lahan pertanian kita juga terus menyusut banyak jadi perumahan dan bangunan lainnya, sehingga produksi kita juga menurun dari tahun ke tahun," jelasnya.

Masalah lain yang dihadapi petani terkait menurunnya produksi pertanian adalah kesuburan tanah.

Banyak petani yang masih memaksakan menanam padi dan tidak pernah mengganti ke tanaman lainnya.

Padahal, idealnya 3 kali masa panen dalam setahun salah satunya harus diganti dengan tanaman palawija seperti kacang, jagung, dan ubi.

Tidak hanya itu, petani juga masih bergantung ke pupuk kimia dan enggan beralih ke pupuk organik.

Sehingga, keasaman tanah meningkat dan kesuburannya menurun. Akibatnya, hasil produksi pertanian tidak maksimal.

Kata Arif, selain rutin mendampingi petani dengan penyuluhan, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian juga terus mendorong para petani untuk beralih ke pertanian organik.

Saat ini, hanya ada dua kelompok tani yang sudah mendapatkan sertifikasi pertanian organik. Yakni kelompok tani di Kecamatan Candipuro dan Kecamatan Jatiroto.

"Kita ingin semua petani beralih ke pupuk organik supaya hasil pertaniannya bisa meningkat dan petani bisa sejahtera," pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2024/03/04/205543278/petani-di-lumajang-masih-jauh-dari-sejahtera-meski-harga-beras-naik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke