Namun ia pun khawatir bambu di wilayahnya akan habis karena terus diambil untuk kebutuhan mereka.
"Akhirnya kami memutuskan untuk menanam bambu di sekitar kampung. Bahkan pihak perhutani menyediakan lahan 2,8 hektare untuk ditanami bambu di sepanjang bantaran sungai dari hulu ke hilir yang melewati Papring." kata dia.
Namun penanaman bambu itu tidak berjalan sesuai rencana. Menurutnya, ada beberapa orang yang menganggap bambu adalah hama yang akan merusak tanaman lain di sekitarnya.
Baca juga: Cerita Paskibra Degdegan Kibarkan Merah Putih di Banyuwangi Usai Guyuran Hujan
"Tak sedikit yang menolak. Tapi ya enggak apa-apa. Perubahan itu butuh waktu, tidak seperti membalik tangan," kata dia.
Sejak 2015, Kampung Batara dan masyarakat Papring menggelar pentas seni Hikayat Bambu setiap bulan Oktober untuk memperingati ulang tahun Kampung Batara.
Saat Hikayat Bambu, anak-anak Kampung Batara dan warga Papring menanam bibit bambu. Anak-anak juga akan menampilkan kesenian tradisional.
Total sudah ada 3.000 lebih bibit bambu yang ditanam di wilayah mereka. Bibit bambu tersebut diambil warga dari hutan yang kemudian dikembangkan di kampung meeka.
"Saat ada warga yang ke hutan untuk ambil bambu, mereka akan membawa bibit dan kemudian dikumpulkan di pelataran rumah. Setelah banyak, baru kemudian ditanam kembali. Selain di bantaran sungai, bibit bambu juga ditanam di sekitar sumber mata air di sini," kata dia.
Baca juga: TNI AU Bakal Atraksi di Langit Banyuwangi Saat Festival Gandrung Sewu
Ada berbagai jenis bambu yang ada di wilayah Papring. Antara lain ori, petung, peting, bonel, watu dan apus.
"Jenis bambu watu ini yang katanya hanya ada di Papring. Mirip dengan apus tapi ukurannya dan jenisnnya berbeda. Bisanya untuk kerajinan. Kalo jenis petung, peting, bonel biasanya untuk konstruksi. Semuanya ada di Papring," kata Widie.
Sementara itu Sunarti (47), salah satu perajin bambu mengaku bersyukur pemesanan kerajinan bambu mulai meningkat.
Ia dan sang suami pun tak kesulitan untuk mencari bahan baku yakni bambu karena semuanya tersedia di kampungnya.
Selain itu, dengan banyaknya pesanan, ia sudah mulai menabung untuk pendidikan anaknya, Widia yang saat ini sudah duduk di kelas 5 SD.
"Cukup kami saja yang putus sekolah. Jangan sampai anak-anak kami merasakan hal yang sama," kata Sunarti sambil mengerjakan anyaman bambu.
Baca juga: Pengukuhan 75 Paskibra Banyuwangi Diwarnai Tangis Haru
Hal senada juga diungkapkan oleh Asnawiyah (33). Ia bercerita menikah di usia 13 tahun dan melahirkan anak pertamanya di usia 15 tahun.
Karena itu ia berharap dari hasil menganyam bambu, anaknya yang bernama Humairah (14) bisa melanjutkan sekolah setingi-tingginya.
Ia mengaku setiap hari bisa menghasilkan rata-rata Rp 25.000 dari menganyam bambu serta mendapatkan uang tambahan dari membuat batik.
"Kalo suami antara Rp 50.000 sampai Rp 75.00 setiap hari. Hasilnya kami sisihkan untuk sekolah anak kami. Sekarang kami sudah paham bahwa pendidikan itu penting dan itu yang bisa mengubah nasib anak-anak kami," kata dia.
Baca juga: Angkasa Pura II Kembangkan Desa Wisata Berbasis Adat di Banyuwangi
Dia mengaku banyak perubahan yang terjadi sejak sembilan tahun terakhir. Tak hanya pernikahan usia anak yang berkurang, tapi ekonomi mereka juga semakin membaik.
"Yang terpenting, nama Papring semakin banyak yang mengenal. Produk bambu, batik dan kopi kami juga diakui," kata dia.
Suara gamelan musik terdengar dari Rumah Bambu Papring, tempat Fendi dan teman-temannya belajar menari.
Dan tak jauh dari sana, orang-orang dewasa menganyam bambu dan sebagian lagi membatik. Tak lama suara anak-anak terdengar dari Rumah Bambu.
"Belajar cerdas tanpa batas, semua orang adalah guru, alam raya sekolahku," teriak mereka menutup latihan siang itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.