Salin Artikel

Hikayat Bambu Papring dan Upaya Menjaga Masa Depan Anak di Kampung Batara Banyuwangi

Hal itu dilakukan untuk kelangsungan hidup mereka sebagai pengrajin bambu dan masa depan anak-anak mereka.

Nama Papring sendiri singkatan dari panggone pring yang berarti lokasi tempat bambu tumbuh.

Di kampung tersebut, lahir Kampung Batara yang menjadi wadah anak-anak di pinggiran hutan untuk belajar.

Irfan Efendi (17), salah satu anak Kampung Batara terlihat melatih teman-temannya untuk menari di sebuah bangunan berdinding bambu di Kampung Papring, Kelurahan Kalipuro pada Minggu (13/8/2023).

Kegiatan itu rutin dilakukan setiap hari Minggu di Kampung Batara atau Kampung Baca Taman Rimba yang sudah ada sejak akhir tahun 2014.

Remaja yang akrab dipanggil Fendi tersebut kemudian menunjukkan sebuah kostum dari bambu buatan orangtua mereka yang akan digunakan untuk kegiatan karnaval.

Latihan menari hari itu difokuskan untuk penampilan mereka saat karnaval peringatan Hari Kemerdekaan.

"Akan ada karnaval Pawang Nusantara. Jadi kami memanggunakan kostum dari bambu. Semuanya dari bambu tidak boleh ada plastik," kata Fendi.

Ia mengatakan karnaval pawang Nusantara sengaja digelar untuk perayaan kemerdekaan di Papring dan juga menunjukkan potensi bambu di kampung mereka.

"Di sini banyak tanaman bambu. Mulai dari kakek nenek sampai sekarang, semuanya perajin bambu. Kalau dulu besek, tapi sekarang sudah berkembang jadi suvenir," kata dia.

Tak hanya masalah jalan, akses komunikasi melalui ponsel juga terhambat karena sinyal jaringan internet yang lemah.

Sebagian besar masyarakat di Papring adalah buruh tani. Sebagian lainnya menggantungkan hidup di hutan dengan mencari kayu serta bambu, beternak dan membuat besek anyaman bambu untuk dijual.

Anyaman yang dibuat adalah besek (wadah), gedheg (dinding bambu) dan lanjaran (bambu untuk menjalarnya tanaman).

Keberadaan besek bambu paring mulai memudar pada tahun 1990-an karena kalah saing dengan gempuran barang plastik dan bebarengan dengan krisis monoter.

Namun kini, anyaman bambu dari Papring mulai menggeliat seiring dengan keberadaan Kampung Batara di wilayah tersebut. Anyaman bambu mereka berkembang menjadi besek dengan ukuran dan model yang beragam, tas, kap lampu, pincukan dan lain-lainnya.

Kampung Batara atau Kampung Baca Taman Rimba lahir pada tahun 2014 dari tangan dingin Widie Nurmahmudy (44) dan istrinya, Novita.

Widie adalah warga asli Papring yang sehari-hari bertani jagung dan singkong. Ia juga memelihara hewan ternak kambing dan sapi miliknya sendiri serta titipan orang.

Dengan mendirikan Kamping Batara, ia pun menjadikan rumahnya sebagai pusat kegiatan belajar anak-anak di daerahnya. Sembilan tahun berjalan, Kampung Batara semakin tumbuh.

Tak hanya menjadi tempat belajar anak-anak, Kampung Batara juga mengembangkan potensi bambu di desa mereka.

Kini mereka banyak beraktivitas di Rumah Bambu Papring yang didirikan di lahan keluarga yang dihibahkan untuk rumah baca. Ada sekitar 50 anak yang belajar di rumah baca tersebut.

Pria yang akrab dipanggil Cak Wiwi itu bercerita, rumah baca tersebut lahir dari keresahan soal tingginya pernikahan usia anak di kampungnya.

Sebelum tahun 2014, menurut Cak Wiwi, anak-anak di kampungnya berhenti sekolah setelah lulus SD. Sebagian ada yang bekerja di Bali sebagai buruh atau menikah.

Sekolah menjadi 'barang mahal' bagi warga kampung. Selain itu, akses jalan yang sulit membuat anak-anak enggan melanjutkan sekolah.

"Dari keresahan itu, lahirlah Kampung Batara. Paling tidak anak-anak bisa belajar dan berkembang di sini. Membuka mindset mereka bahkan sekolah itu penting," kata dia, Minggu.

"Ada orang tua yang bilang, 'enggak usah sekolah tinggi-tinggi. yang penting bisa membaca tulisan jalan dan tandatangan'. Saat mendengar itu sedih. Itu yang menjadi alasan utama saya membuka Kampung Batara ini," tambah lelaki lulusan SMA tersebut.

Awalnya ia hanya mengajarkan membaca, menulis serta mengitung. Namun kemudian berkembang ke permainan edukasi dengan memanfaatkan benda yang berada di sekitarnya, salah satunya bambu.

"Kadang-kadang menari, mewarnai, menggambar, dan bermain alat musik dari bambu. Kalau di sini namanya patrol. Mereka sendiri yang membuat saya hanya mengarahkan. Bahkan mereka pernah beberapa kali diundang tampil kalau ada cara sosial. Belum profesional sih tapi paling tidak mereka berani tampil dan percaya diri," ucapnya.

Ia juga mengatakan, Kampung Batara dibangun untuk melatih anak-anak agar semakin percaya diri dan bangga dengan kampungnya. Karena tak sedikit, anak-anak di desa malu menyebut daerah asalnya.

"Sekarang mereka bangga menyebut kampungnya dari Papring," kata Widie.

"Dulu enggak ada yang kenal dengan Paring. Sekarang walau di desa, kita bisa berkarya. Berkesenian dan membuat kerajinan bambu," kata Fendi.

Sementara itu Novita, istri Cak Widi bercerita bahwa ia hanya lulus SD karena tak ada biaya untuk melanjutkan sekolah.

Namun ia dan beberapa orangtua anak-anak di Kampung Batara melanjutkan pendidikan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Nur Surya Education.

Program dari PKBM adalah yakni pembelajaran pendidikan program kesetaraan paket A (setara SD/MI), paket B (SMP/Mts), dan Paket C (SMA/MA).

"Akhirnya orangtua di sini juga makin percaya diri dan mampu untuk mengerjakan hal-hal baru. Membatik contohnya," kata perempuan kelahiran 1997 itu.

Tak hanya belajar membaca, menulis dan berhitung, di PKBM, mereka juga mendapatkan pelatihan lainnya seperti pelatihan menganyam, membuat batik dan mengolah kopi.

"Di sini, sudah puluhan tahun mayarakat memang sudah membuat besek. Tapi harganya murah dan dijual ke tengkulak. Terus difasilitasi pelatihan menganyam, jadi produk yang dihasilkan semakin beragam," kata dia.

Barang kerajinan bambu tersebut kemudian dikenalkan oleh Kampung Batara melalui relasi, serta relawan yang datang berkunjung ke Kampung Papring.

"Alhamdulilan pemesanan semakin banyak. Ada tabungan untuk anak-anak sekolah," kata Novita.

Sementara itu sang suami, Cak Wiwi menimpali pernyataan sang istri.

"Kita sudah membangun mindset pendidikan itu penting, tidak hanya ke anak tapi juga orangtua. Namun mereka harus juga merdeka secara ekonomi. Paling tidak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anaknya," kata dia.

"Jadi ya kita manfaatkan alam yang ada dengan membuat kerajinan dari bambu, dijual dan hasilnya kembali ke keluarga," tambah dia.

Pada tahun 2017, lahirlah Kelompok Kriya Bambu Papring yang beranggotakan 22 pengrajin di wilayah Papring.

Dengan kelompok tersebut, maka keberadaan pengrajin bambu di Papring semakin diakui. Pesanan kerajinan bambu seperti tas juga terus mengalir.

"Apalagi sekarang kampanye tentang bahan ramah lingkungan dan non plastik cukup sering digaungkan. Jadi besek sudah digunakan sebagai kotak makan, atau tas bambu yang difungsikan sebagai kresek," kata dia.

Tak hanya kerajinan bambu, masyarakat juga belajar membuat batik dengan motif khas mereka yakni rumpun bambu.

Batik papring pun kini mulai dilirik oleh masyarakat luas. Terbukti, pemesanan batik papring juga mulai bertambah.

"Bambu kan masih dianggap rumput, jadi sebagian menganggapnya sebagai hama. Jadi diambil sebanyak-banyak pun enggak masalah. Bahkan ada yang bilang enggak akan habis sampai tujuh turunan," kata Cak Wiwi.

Namun ia pun khawatir bambu di wilayahnya akan habis karena terus diambil untuk kebutuhan mereka.

"Akhirnya kami memutuskan untuk menanam bambu di sekitar kampung. Bahkan pihak perhutani menyediakan lahan 2,8 hektare untuk ditanami bambu di sepanjang bantaran sungai dari hulu ke hilir yang melewati Papring." kata dia.

Namun penanaman bambu itu tidak berjalan sesuai rencana. Menurutnya, ada beberapa orang yang menganggap bambu adalah hama yang akan merusak tanaman lain di sekitarnya.

"Tak sedikit yang menolak. Tapi ya enggak apa-apa. Perubahan itu butuh waktu, tidak seperti membalik tangan," kata dia.

Sejak 2015, Kampung Batara dan masyarakat Papring menggelar pentas seni Hikayat Bambu setiap bulan Oktober untuk memperingati ulang tahun Kampung Batara.

Saat Hikayat Bambu, anak-anak Kampung Batara dan warga Papring menanam bibit bambu. Anak-anak juga akan menampilkan kesenian tradisional.

Total sudah ada 3.000 lebih bibit bambu yang ditanam di wilayah mereka. Bibit bambu tersebut diambil warga dari hutan yang kemudian dikembangkan di kampung meeka.

"Saat ada warga yang ke hutan untuk ambil bambu, mereka akan membawa bibit dan kemudian dikumpulkan di pelataran rumah. Setelah banyak, baru kemudian ditanam kembali. Selain di bantaran sungai, bibit bambu juga ditanam di sekitar sumber mata air di sini," kata dia.

"Jenis bambu watu ini yang katanya hanya ada di Papring. Mirip dengan apus tapi ukurannya dan jenisnnya berbeda. Bisanya untuk kerajinan. Kalo jenis petung, peting, bonel biasanya untuk konstruksi. Semuanya ada di Papring," kata Widie.

Sementara itu Sunarti (47), salah satu perajin bambu mengaku bersyukur pemesanan kerajinan bambu mulai meningkat.

Ia dan sang suami pun tak kesulitan untuk mencari bahan baku yakni bambu karena semuanya tersedia di kampungnya.

Selain itu, dengan banyaknya pesanan, ia sudah mulai menabung untuk pendidikan anaknya, Widia yang saat ini sudah duduk di kelas 5 SD.

"Cukup kami saja yang putus sekolah. Jangan sampai anak-anak kami merasakan hal yang sama," kata Sunarti sambil mengerjakan anyaman bambu.

Hal senada juga diungkapkan oleh Asnawiyah (33). Ia bercerita menikah di usia 13 tahun dan melahirkan anak pertamanya di usia 15 tahun.

Karena itu ia berharap dari hasil menganyam bambu, anaknya yang bernama Humairah (14) bisa melanjutkan sekolah setingi-tingginya.

Ia mengaku setiap hari bisa menghasilkan rata-rata Rp 25.000 dari menganyam bambu serta mendapatkan uang tambahan dari membuat batik.

"Kalo suami antara Rp 50.000 sampai Rp 75.00 setiap hari. Hasilnya kami sisihkan untuk sekolah anak kami. Sekarang kami sudah paham bahwa pendidikan itu penting dan itu yang bisa mengubah nasib anak-anak kami," kata dia.

Dia mengaku banyak perubahan yang terjadi sejak sembilan tahun terakhir. Tak hanya pernikahan usia anak yang berkurang, tapi ekonomi mereka juga semakin membaik.

"Yang terpenting, nama Papring semakin banyak yang mengenal. Produk bambu, batik dan kopi kami juga diakui," kata dia.

Suara gamelan musik terdengar dari Rumah Bambu Papring, tempat Fendi dan teman-temannya belajar menari.

Dan tak jauh dari sana, orang-orang dewasa menganyam bambu dan sebagian lagi membatik. Tak lama suara anak-anak terdengar dari Rumah Bambu.

"Belajar cerdas tanpa batas, semua orang adalah guru, alam raya sekolahku," teriak mereka menutup latihan siang itu.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/08/30/174504778/hikayat-bambu-papring-dan-upaya-menjaga-masa-depan-anak-di-kampung-batara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke