Mereka lantas menyampaikan temuannya kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjutinya. Namun ini tidak pernah direalisasikan dengan berbagai alasan.
Dan barulah pada akhir Desember 2022 lalu, Presiden Joko Widodo, atas nama negara, mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985.
Presiden Jokowi berjanji menyelesaikannya tanpa melalui proses hukum, walau tak menutup upaya hukumnya, dengan menyiapkan sejumlah program, seperti pemulihan terhadap para korban.
Kebijakan ini sesuai rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang sebelumnya dibentuk oleh Presiden.
Baca juga: Desakan Komnas HAM Agar Pemerintah RI Cegah Impunitas Pelaku Pelanggaran HAM
Sampai awal April 2023, janji pemerintah untuk memulihkan korban dan keluarga pelanggaran HAM berat di masa lalu — termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985 — belum menemukan bentuk konkretnya.
Para pegiat HAM mengatakan, luasnya dimensi dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, membuat setiap korban memiliki situasi dan kebutuhan berbeda.
Di sinilah, janji pemulihan terhadap korban dan keluarganya, tidak bisa disamakan.
Pada tahap inilah, para penyintas dan keluarga penembakan misterius 1982-1985 dihadapkan persoalan yang tidak mudah, kata Stanley.
"Keluarga mereka tidak mau lagi dikait-kaitkan dengan peristiwa yang menimpa kepala keluarga atau suaminya," ujarnya.
Baca juga: Kapolda DIY Angkat Bicara soal Laporan Komnas HAM Terdakwa Kasus Klitih Disiksa
"Mengapa? Karena itu dianggap aib. Bahkan kuburan mereka seperti kuburan yang terlantar," ungkap Stanley.
Dia mengambil contoh kuburan korban penembakan misterius di Yogyakarta, Slamet Gajah.
Kondisinya terlantar dan nyaris ditumpangi oleh kuburan orang lain di atasnya, karena keluarganya tidak pernah membayar uang sewa.
Komnas HAM saat kemudian menyurati Gubernur DI Yogyakarta untuk 'melindungi' kuburan Slamet Gajah.
"Karena kalau ada penyelidikan lanjutan, walau sudah tinggal kerangka, masih akan ditemukan jejak-jejak pelanggaran HAM berat," katanya.
"Itu kan barang bukti, kalau nanti misalnya Kejaksaan Agung akan melakukan pembongkaran makam," tambahnya.
Pihaknya juga memutuskan membayar seluruh utang uang sewa lahan kuburan Slamet Gajah.
Baca juga: Megawati Dilaporkan Koalisi Pegiat HAM Yogyakarta ke Komnas Perempuan
Yang tidak kalah penting, menurut Stanley, adalah bagaimana agar kasus 'petrus 1982-1985' tidak terulang lagi.
Dia menekankan hal ini karena ada godaan dari sejumlah kalangan untuk melakukan 'jalan pintas' ketika dihadapkan persoalan kriminal yang mengalami kenaikan.
Stanley khawatir, upaya non yudisial untuk menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM di masa lalu ini, termasuk 'petrus', dipaksakan dalam rentang waktu yang pendek.
"Terburu-buru, hanya diberi waktu tiga bulan, dan tidak berupaya mengungkap kebenaran. Hanya mempelajari dokumen-dokumen tim penyelidikan Komnas HAM yang terlantar, karena tidak ditindaklanjuti oleh Kejagung," paparnya.
Baca juga: Satpol PP di Lampung Diduga Siksa Manusia Silver, Komnas HAM: Belum Ada Tanggapan Wali Kota
Di sinilah, upaya pengungkapan kebenaran menjadi penting untuk menjadi bagian upaya non yudisial pemerintah terhadap para penyintas dan keluarga peristiwa 'penembakan misterius 1982-1985.
---------------------------------------------------------------
Ini adalah seri ketiga atau terakhir liputan khusus BBCNews Indonesia tentang 'penembakan misterius 1982-1985'.
Anda dapat membaca seri kesatu di sini: Penembakan misterius 1982-1985: 'Walau bapak saya gali, dia tak bisa dibunuh tanpa diadili dulu'
Dan seri kedua di sini: Penembakan misterius 1982-1985: 'Saya masuk daftar yang harus dibunuh, padahal saya bukan gali'.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.