Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penembakan Misterius 1982-1985 di Kota Malang dan Kisah Pembunuhan Petinju Johny Mangi

Kompas.com, 14 April 2023, 05:30 WIB
Rachmawati

Editor

Mereka lantas menyampaikan temuannya kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjutinya. Namun ini tidak pernah direalisasikan dengan berbagai alasan.

Dan barulah pada akhir Desember 2022 lalu, Presiden Joko Widodo, atas nama negara, mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985.

Presiden Jokowi berjanji menyelesaikannya tanpa melalui proses hukum, walau tak menutup upaya hukumnya, dengan menyiapkan sejumlah program, seperti pemulihan terhadap para korban.

Kebijakan ini sesuai rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang sebelumnya dibentuk oleh Presiden.

Baca juga: Desakan Komnas HAM Agar Pemerintah RI Cegah Impunitas Pelaku Pelanggaran HAM

"Dianggap aib, keluarga tak mau dikaitkan"

Sampai awal April 2023, janji pemerintah untuk memulihkan korban dan keluarga pelanggaran HAM berat di masa lalu — termasuk kasus pembunuhan misterius 1982-1985 — belum menemukan bentuk konkretnya.

Para pegiat HAM mengatakan, luasnya dimensi dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, membuat setiap korban memiliki situasi dan kebutuhan berbeda.

Di sinilah, janji pemulihan terhadap korban dan keluarganya, tidak bisa disamakan.

Pada tahap inilah, para penyintas dan keluarga penembakan misterius 1982-1985 dihadapkan persoalan yang tidak mudah, kata Stanley.

"Keluarga mereka tidak mau lagi dikait-kaitkan dengan peristiwa yang menimpa kepala keluarga atau suaminya," ujarnya.

Baca juga: Kapolda DIY Angkat Bicara soal Laporan Komnas HAM Terdakwa Kasus Klitih Disiksa

"Mengapa? Karena itu dianggap aib. Bahkan kuburan mereka seperti kuburan yang terlantar," ungkap Stanley.

Dia mengambil contoh kuburan korban penembakan misterius di Yogyakarta, Slamet Gajah.

Kondisinya terlantar dan nyaris ditumpangi oleh kuburan orang lain di atasnya, karena keluarganya tidak pernah membayar uang sewa.

Komnas HAM saat kemudian menyurati Gubernur DI Yogyakarta untuk 'melindungi' kuburan Slamet Gajah.

"Karena kalau ada penyelidikan lanjutan, walau sudah tinggal kerangka, masih akan ditemukan jejak-jejak pelanggaran HAM berat," katanya.

"Itu kan barang bukti, kalau nanti misalnya Kejaksaan Agung akan melakukan pembongkaran makam," tambahnya.

Pihaknya juga memutuskan membayar seluruh utang uang sewa lahan kuburan Slamet Gajah.

Baca juga: Megawati Dilaporkan Koalisi Pegiat HAM Yogyakarta ke Komnas Perempuan

Bagaimana agar kasus tak terulang?

Yang tidak kalah penting, menurut Stanley, adalah bagaimana agar kasus 'petrus 1982-1985' tidak terulang lagi.

Dia menekankan hal ini karena ada godaan dari sejumlah kalangan untuk melakukan 'jalan pintas' ketika dihadapkan persoalan kriminal yang mengalami kenaikan.

Stanley khawatir, upaya non yudisial untuk menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM di masa lalu ini, termasuk 'petrus', dipaksakan dalam rentang waktu yang pendek.

"Terburu-buru, hanya diberi waktu tiga bulan, dan tidak berupaya mengungkap kebenaran. Hanya mempelajari dokumen-dokumen tim penyelidikan Komnas HAM yang terlantar, karena tidak ditindaklanjuti oleh Kejagung," paparnya.

Baca juga: Satpol PP di Lampung Diduga Siksa Manusia Silver, Komnas HAM: Belum Ada Tanggapan Wali Kota

Di sinilah, upaya pengungkapan kebenaran menjadi penting untuk menjadi bagian upaya non yudisial pemerintah terhadap para penyintas dan keluarga peristiwa 'penembakan misterius 1982-1985.

---------------------------------------------------------------

Ini adalah seri ketiga atau terakhir liputan khusus BBCNews Indonesia tentang 'penembakan misterius 1982-1985'.

Anda dapat membaca seri kesatu di sini: Penembakan misterius 1982-1985: 'Walau bapak saya gali, dia tak bisa dibunuh tanpa diadili dulu'

Dan seri kedua di sini: Penembakan misterius 1982-1985: 'Saya masuk daftar yang harus dibunuh, padahal saya bukan gali'.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang

Halaman:


Terkini Lainnya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau