SI menurunkan serial liputan tentang kasus tersebut, dan tidak hanya berita, tetapi juga kritikan melalui tajuk rencananya.
Baca juga: Penembakan Misterius (Petrus): Latar Belakang dan Dampaknya
Koran ini juga mengangkat suara-suara kritis masyarakat yang mempertanyakan kebijakan pemerintah di balik peristiwa penembakan misterius.
Pada awal 1980an, yang menjadi redaktur pelaksana SI adalah Peter A. Rohi (1942-2020). Saat itu, koran ini sempat menjadi yang terbesar di Jatim dengan tiras 40.000 eksemplar.
"Semua koresponden saya perintahkan membuat berita setiap korban 'petrus'," kata Peter, seperti dikutip Zed Abidien, eks jurnalis Tempo, dalam buku Peter A.Rohi, Jurnalis Pejuang, Pejuang Jurnalis (2020).
Akibatnya, nyaris tiap hari, koran ini dihiasi berita korban kekerasan 'petrus' alias penembakan misterius.
Rupanya, sikap kritis Suara Indonesia membuat pihak-pihak yang merasa tersudut untuk melakukan semacam teror.
Baca juga: Soal Aksi Warga di Sumbar Ceburkan 2 Pemandu Karaoke ke Laut, Polisi: Pelaku Langgar Hukum dan HAM
Pada Rabu dini hari, 16 November 1984, sekitar pukul 03.00, kantor redaksi SI dikirimi paket berisi potongan kepala manusia.
Potongan kepala yang ditengarai potongan kepala korban 'petrus' ini diletakkan persis di pintu masuk kantor redaksi.
"Peter Rohi menjadi salah satu saksi mata teror akibat sejumlah berita dan tajuknya," ungkap Stanley.
Atas kejadian tersebut, SI memutuskan untuk tidak terbit keesokan harinya.
"Itulah teror terdahsyat yang pernah dialami pers pada masa rezim Orde Baru. Namun tundukkah Suara Indonesia?
"Ternyata Peter Rohi dan kawan-kawan justru terus melawan dan memberitakan soal 'petrus'," ungkap Stanley.
Baca juga: Komnas HAM Minta Pemprov NTT Kaji Ulang Pelajar SMA Masuk Sekolah Jam 05.30
Diakui sendiri oleh Presiden Suharto sebagai terapi kejut agar para pelaku tindak kriminal jera, aksi pembunuhan di luar hukum atas perintah pejabat negara ini, kemudian disudahi.
Setelah Reformasi 1998, muncul gelombang tuntutan agar aksi pembunuhan para preman pada periode 1982-1985 — lazim disebut 'penembakan misterius' — ini, diusut tuntas.
Melalui proses panjang, kira-kira 10 tahun kemudian, diawali sebuah kajian mendalam, tepatnya pada 2008, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim adhoc.
Tim inilah, yang dipimpin Stanley Adi Prasetyo, kemudian menyelidiki kasus ini.
Baca juga: Komnas HAM Pertanyakan Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 05.30 di NTT
Mereka mendatangi Kota Yogyakarta, Bantul, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Bogor, Mojokerto, Jakarta, Palembang, serta Medan.
"Tim mengumpulkan bukti-bukti, dokumen, video, kliping, foto-foto, serta melakukan perjalanan ke sejumlah kota, menemui penyintas maupun keluarganya," ungkap Stanley.
Stanley dan tim juga mendatangi kuburan para korban, mengidentifikasi kasusnya, serta memastikan apakah keluarganya juga mendapat teror atau tidak.
Dari hasil penyelidikan, Komnas HAM mengidentifikasi para pelakunya, yaitu TNI (Koramil, Kodim, dan Kodam/Laksusda), polisi (Polsek, Polres, dan Polda), garnisun (gabungan TNI dan polisi), serta pejabat sipil (Ketua RT, Ketua RW, Lurah).
Adapun korbannya adalah orang-orang yang "dianggap" sebagai pelaku kejahatan, seperti preman, gali, buronan, hingga bromocorah.
Baca juga: Laporan Tahunan Komnas HAM, Demokrasi Indonesia Alami Kemunduran di Era Jokowi
Beberapa kali terhenti karena anggaran yang terbatas (diambil dari APBN), penyelidikan Komnas HAM akhirnya berakhir pada 2012.
Dalam kesimpulannya, tim adhoc yang dipimpin Stanley menemukan cukup bukti "telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan".
"Yaitu terbukti ada serangan yang dilakukan sekelompok orang yang merupakan bagian dari aparat keamanan negara," ungkapnya.
Mereka melakukan penangkapan dan penahanan, penyiksaan, pembunuhan serta penghilangan orang secara paksa, tambahnya.
Baca juga: 5 Kasus Sorotan Publik yang Ditangani Komnas HAM, dari Sambo hingga Wadas
Menurut Komnas HAM, diperkirakan total jumlah korban lebih dari 1.000 jiwa. Temuan mereka menguatkan ada pelanggaran HAM berat.