BANYUWANGI, KOMPAS.com - Sejumlah pria melangkah perlahan, mendorong troli berisi wisatawan di kawasan Kawah Gunung Ijen di Banyuwangi, Jawa Timur.
Suara napas terengah, berpadu dengan bunyi roda troli yang melaju atas tanah.
Ojek troli. Demikian biasanya warga menyebut pekerjaan para pengangkut turis tersebut.
Baca juga: Kisah Wagiyem Jadi Kuli Panggul di Solo, Angkat Barang 80 Kg Dapat Upah 10.000
Salah satu warga lokal yang melakoni pekerjaan itu adalah Hasan (57).
Dia mengungkapkan, rata-rata pekerja kuli wisatawan di gunung setinggi 2.386 MDPL itu ialah mantan penambang belerang Kawah Ijen yang sudah pensiun.
Beberapa kuli angkut wisata hingga kini juga masih aktif menjadi penambang belerang.
Baca juga: Kisah Penambang Belerang di Kawah Ijen, Menantang Bahaya demi Uang yang Tak Seberapa
Warga Desa Tamansari, Kecamatan Licin, Banyuwangi tersebut mengaku sudah 38 tahun terjun sebagai seorang penambang belerang, sebelum akhirnya 'nyambi' jadi kuli angkut wisatawan.
"Akhirnya karena saat itu lagi ramai-ramainya troli wisata. Maka saya mencoba itu," ungkap Hasan saat ditemui, Senin (13/3/2023).
Meski demikian, lanjut Hasan, turis hanya datang di waktu-waktu tertentu. Tidak setiap hari dia bisa mengangkut wisatawan.
"Kadang-kadang kalau lagi ramai, sebulan bisa 10 orang lebih pengunjung yang menyewa jasa ojek troli ini," terangnya.
Hasan menjelaskan, tarif angkut troli untuk pulang pergi (PP) wisatawan adalah Rp 800.000 per orang.
Tarif itu untuk layanan naik ke atas hingga kembali turun ke bawah dan masih dibagi dengan jumlah pengangkut.
"Dalam satu kali angkut, biasanya tiga sampai empat orang (pengangkut). Tergantung dari orangnya yang nyewa jasa," tutur dia.
Baca juga: Kuli Angkut di Pelabuhan Sunda Kelapa Rugi Besar di Kala Musim Hujan
Jika pengunjung hanya menyewa jasa kuli angkut untuk naik ke kawah saja, maka tarifnya Rp 600.000-700.000 per wisatawan.
"Dan itu hasilnya nanti dibagi. Sesuai dengan jumlah. Misal tadi ada empat orang, ya dibagi empat. Kalau Rp 800.000, ya Rp 200.000-an," ucap Hasan.
Sedangkan tarif turun yakni Rp 200.000- Rp 300.000 per wisatawan. Harganya memang lebih murah, karena saat turun pengangkut membawa troli sendirian.
Biasanya Hasan melakoni pekerjaan sebagai kuli angkut wisatawan saat kawasan Ijen ramai didatangi turis.
Hasan dan para pengangkut wisatawan lainnya menghadapi risiko yang besar.
Jika tidak berhati-hati, bisa saja mereka terperosok lantaran medan pegunungan yang menantang.
Namun hal itu tidak dibarengi dengan adanya jaminan keselamatan baginya dan sejumlah kuli angkut lainnya.
"Asuransi tidak ada, BPJS juga tidak ada. Ya kalau sakit biaya sendiri. Harapan kita semua para penambang ya ada itu (jaminan kesehatan). Tapi ya gimana lagi," kata Hasan pasrah.
Selain menjadi kuli angkut wisatawan, Hasan harus naik-turun Gunung Ijen untuk menambang belerang. Hal dilakoninya demi menghidupi keluarganya.
"Berat, saya mulai menambang sekitar tahun 1985 lalu," kata dia.
Hasan bercerita, awal menjadi seorang penambang belerang karena mengikuti jejak sang ayah. Saat itu usianya baru 19 tahun.
Suami dari Amsiyah (45) ini, bisa dibilang paling senior dari para penambang belerang lain yang berada di Kawah Gunung Ijen.
"Karena saat itu ikut-ikutan. Dan juga tidak ada pekerjaan lain selain berkebun dan menambang belerang," ungkap Hasan.
Baca juga: Wisata Kawah Ijen Tak Terdampak Banjir Bandang Bondowoso
"Kan langsung dijual kepada pengepul di pabrik. Jadi langsung dapat uang," ujar Hasan.
Alasan lainnya, kata Hasan, saat itu di wilayah sekitar tempat tinggalnya hampir seratus persen berprofesi sebagai penambang.
"Tetangga sekitar, tetangga desa hampir semuanya jadi penambang dulu. Ya daripada tidak ada pekerjaan, ya lebih baik cari lirang (belerang dalam bahasa suku using)," jelas Hasan.
Hasan mengatakan, pada awal dirinya mencari belerang, ada sekitar 400-an orang yang menjadi penambang.
"Banyak dulu, ada 400 lebih yang ikut nambang. Mulai usia muda sampai tua ada," ungkap Hasan.
Rupanya, pengalaman pertama menjadi seorang penambang, tak semudah yang dibayangkan.
Hasan muda harus bersusah payah mendaki dan menuruni Kawah Gunung Ijen dengan rute terjal setiap dua hari sekali.
Berangkat dari rumah mulai jam 22.00 WIB dan baru kembali pulang dengan membawa belerang, jam 17.00 WIB pada esok harinya.
"Sehari nambang, sehari istirahat. Enggak kuat kita kalau setiap hari," kata Hasan.
Tak hanya itu Hasan harus membawa beban belerang yang tak main-main di jalur membahayakan. Sekali angkut, bisa 100 kilogram.
"Itu kita lakukan dengan jalan kaki. Kurang lebih sejauh 17 kilometer. Dari kawah sampai pos bawah. Jalannya dulu ya enggak sebagus sekarang. Dulu belum diaspal," ucapnya.
Baca juga: Penambang Belerang di Kawah Ijen Banyuwangi Nekat Beraktivitas meski Status Waspada
Hasan bercerita, selama menambang belerang, banyak kesulitan yang sering ia rasakan.
"Kalau jatuh atau terpeleset ya itu sudah risiko. Pernah dulu, tapi paling cuma lecet aja. Alhamdulillah," ujar Hasan.
Dukanya, lanjut Hasan, karena kondisi cuaca hujan, jalur yang longsor, asap belerang yang menganggu mata dan pernapasan hingga nyeri sendi.
Jika dulu Hasan mampu memanggul belerang seberat 100-120 kilogram, kini dia hanya mampu mengangkut separuhnya.
"Karena usia sudah tua, sudah enggak terlalu mampu bawa beban berat. Sekarang paling 50-70 kilogram saja," ucapnya.
Tiap kilogram belerang dibeli oleh pabrik seharga Rp 1.250.
Baca juga: Peluk Gubernur Khofifah Sambil Menangis, Korban Banjir Bandang Ijen: Semua Barang Saya Habis...
"Kalau ngomongkan cukup atau enggak ya sebenernya enggak cukup. Tapi ya gimana lagi, harus kita syukuri," tutur Hasan.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Hasan tak sepenuhnya mengandalkan dari hasil belerang. Meski dari penambang lain menjadikan sebagai pekerjaan utama.
"Saya juga rawat ternak dan tani juga di kebun. Tapi itu ya pas di hari libur nambang. Karena kan sehari sekali libur, itu yang kita manfaatkan," ujarnya.
Menurut dia, kondisi tambang belerang di Kawah Ijen sudah tidak seperti dulu.
"Sekarang agak susah dicari. Makanya sekarang mungkin hanya tinggal 50 orang saja yang nambang," ucap Hasan.
Menurutnya faktor alam sangat mempengaruhi seperti volume air danau kawah yang naik hingga terdapat sumbatan-sumbatan di pipa kawah.
Baca juga: Teliti Sampel Asap dari Septic Tank Rumah Warga, Dinas LH Madiun: Dominan Unsur Belerang
"Airnya itu sekarang lagi naik. Panas itu, kayak air mendidih. Jadi kita harus hati-hati kalau nambang," ucapnya.
Selain itu, kata Hasan, tak ada anak muda yang berminal menjadi penambang belerang.
"Memang anak muda sekarang kebanyakan tidak mau jadi penambang. Anak saya saja juga saya larang. Karena tahu berat dan risikonya besar," ucap Hasan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.