Itu membuat mereka kembali terpukul karena tidak mampu bersaing dengan tenun hasil pabrikan. Sebab harganya lebih murah dan stoknya membanjiri pasar.
"Banyak perajin tutup karena kalah saing," ujar perempuan yang sebulannya menghasilkan 1.750 potong kain tenun ikat ini.
Perajin yang ada saat itu, kata Rukayah, bisa bertahan karena menggunakan tenun ikat dan mengembangkan motif.
Ikat dan motif yang membutuhkan 14 tahapan itu pula yang menjadi ciri khas, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh pabrik.
"Tapi ya tetep belum bisa berkembang maksimal," lanjut Rukayah yang mempunyai 115 pekerja ini.
Baca juga: Cerita Erwin, Perajin Tenun Ikat Kota Kediri yang Terlecut Usai Produknya Dipakai Jokowi
Rukayah menilai, keterbatasan kemampuan menjangkau pasar dan belum banyak mendapatkan dukungan pemerintah menjadi salah satu faktor sulitnya usaha itu berkembang dulunya.
"Dulu kan belum ada internet juga," lanjutnya.
Para perajin tenun ikat mulai mendapatkan perhatian pada kisaran 2007, tepatnya periode pemerintahan Wali Kota Maschut.
Untuk pengembangan tenun, Maschut mulai mendorong kain tenun tidak hanya untuk sarung, tetapi dikembangkan menjadi jenis pakaian.
"Saat itu Pak Maschut pesan 7.000 pakaian kepada para perajin di sini," ungkapnya.