Sebelum melompat ke kawah, R Kusuma berpesan untuk mengirimkan hasil bumi ke Gunung Bromo setiap tanggal 14 Kasada yang menjadi cikal bakal Yadnya Kasada.
Keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger yang tersisa dipercaya sebagai nenek moyang masyarakat Suku Tengger saat ini.
Ciri khas Suku Tengger dapat diamati dari cara hidup serta hasil budaya yang masih dapat diamati hingga saat ini.
Masyarakat Tengger dalam kesehariannya berkomunikasi menggunakan bahasa bahasa Jawa-Tengger sebagai bahasa daerah.
Sebagian besar Suku Tengger memeluk agama Hindu, dengan ditandai adanya bangunan pura seperti Pura Luhur Poten.
Rumah adat Suku Tengger dikenal dengan keunikan bentuk atapnya yang memiliki bentuk meruncing dan meninggi yang menumpuk ke atas.
Dengan bubungan yang tinggi, rumah adat ini hanya memiliki 1-2 jendela. Selain itu, di bagian depan rumah pasti ada bale-bale atau tempat untuk duduk-duduk atau bersantai.
Berikut adalah ragam bentuk tradisi yang masih dilakukan oleh Suku Tengger.
Upacara Kasada merupakan hari raya bagi masyarakat Tengger penganut ajaran Hindu Dharma.
Yadnya Kasada dilakukan pada pada hari ke-14 bulan Kasada dengan menggelar sesembahan berupa sesaji kepada Sang Hyang Widhi, sebagai manifestasi dari Batara Brahma.
Pelaksanaan Upacara Kasada dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu puja Purkawa, Manggala upacara, Ngulat umat, Tri Sandiya, Muspa, Pembagian Bija, Diksa Widhi, dan penyerahan sesaji di kawah Bromo.
Proses upacara dimulai pada Sadya Kala Puja dan berakhir pada Surya Puja. Masyarakat Tengger beramai-ramai menuju Gunung Bromo untuk mengantarkan sesaji berupa hasil ternak dan pertanian ke Pura Luhur Poten Agung.
Selama pelaksanaan, Rama Dukun Pandita akan membaca Japa Mantera, yang isinya mendoakan keselamatan seluruh alam semesta.
Hari Raya Karo atau Yadnya Karo adalah perayaan kedua setelah Yadnya Kasada yang dilakukan pada kedua menurut kalender Suku Tengger.
Perayaan Yadnya Karo diikuti tiga desa meliputi Desa Jetak, Wonotoro dan Ngadisari.