Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Gas Air Mata, Ini Kisah Para Penyintas Tragedi Kanjuruhan: Ini Beda, Benar-benar Menyakitkan...

Kompas.com - 11/10/2022, 14:15 WIB
Rachmawati

Editor

"Tidak mungkin pangkat setingkat AKP itu mengambil keputusan yang begitu luar biasa, dalam hal penembakan gas air mata, karena itu ada penanggung jawab dalam hal ini kapolres. Ia mungkin bertanggung jawab kepada komandan satuan di Brimob dia bertugas itu,” katanya.

BBC telah menghubungi Kadiv Humas Mabes Polri, Dedi Prasetyo untuk mengkonfirmasi hal ini, akan tetapi belum ada tanggapan.

Baca juga: Komnas HAM Dalami Gas Air Mata Kedaluwarsa yang Ditembakan Polisi di Kanjuruhan

Masuk dalam bidikan TGIPF

Sementara itu, Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Profesor Rhenald Kasali mengatakan akan memasukkan gas air mata ini dalam penyelidikan mereka.

Dalam hal ini TGIPF menemukan adanya gas air mata yang kedaluwarsa—yang diakui pihak kepolisian.

"Itu sudah dibawa ke lab. Semuanya diperiksa. Itu adalah penyimpangan,” katanya.

TGIPF telah bekerja lebih dari satu pekan sejak Tragedi Kanjuruhan terjadi. Sejauh ini mereka telah menemukan sejumlah fakta-fakta lapangan, termasuk pertanyaan-pertanyaan untuk dikonfirmasi ke sejumlah pihak yang terlibat pertandingan Arema FC Vs Persebaya Surabaya.

Apa saja temuan TGIPF sejauh ini?

Prof Rhenald mengatakan sejauh ini timnya telah menemukan fakta bahwa Stadion Kanjuruhan dirancang untuk kerumunan penonton di era 1980-an.

“Sementara, kerumunan pada masa itu sudah berbeda. Banyak orang kemudian jumlahnya jauh lebih banyak,” katanya.

“Pintunya seperti pintu penjara. Pintunya sliding. Yang dibuka hanya satu dua bagian tertentu. Sedangkan pintu yang besar itu tidak didorong. Kuncinya tidak ditemukan. atau tidak diberikan,” tambah Prof Rhenald.

Selain itu, pertandingan dipaksakan dilakukan malam hari karena dugaan perintah pihak tertentu. Padahal pihak kepolisian Malang menganjurkan dilakukan sore hari.

“Jadi kemungkinan besar ada orang lain yang bertanggung jawab di sana, yang melakukan, apakah melakukan penekanan apakah melakukan perintah, sehingga tetap dilaksanakan pada malam hari,” kata Prof Rhenald. Temuan lainnya adalah pihak klub dan PSSI tidak melakukan pembinaan kepada suporter.

Baca juga: Irjen Nico Afinta, Kapolda Jatim yang Dicopot Setelah Tragedi Kanjuruhan, Berharta Rp 5,9 M

Sementara itu, anggota TGIPF lainnya, Akmal Marhali menemukan adanya kebutuhan bagi korban luka untuk mendapatkan perawatan jangka panjang.

“Rawat kontrol para korban harus juga menjadi perhatian semua pihak, termasuk efek trauma dan psikologis para korban, baik yang mengalami luka berat, sedang maupun yang luka ringan,” katanya dalam keterangan tertulis.

Dalam keterangan kepada media, anggota TGIPF Nugroho Setiawan juga berbagi temuan lapangannya.

Menurutnya, Stadion Kanjuruhan tidak layak untuk menggelar pertandingan dengan risiko tinggi [high risk match].

“Mungkin kalau itu medium atau low risk masih bisa,” katanya dalam keterangan kepada publik.

Baca juga: Aremania: Seharusnya 8 Polisi yang Terlibat Penembakan Gas Air Mata Juga Jadi Tersangka

Selain itu, kata Nugroho, ketinggian dan lebar anak tangga di Stadion Kanjuruhan juga tidak ideal yang memungkinkan orang bisa terjatuh saat keluar.

Temuan lainnya adalah rekaman CCTV di pintu 13 yang ia sebut mengerikan sekali. Dalam CCTV tersebut terjadi penumpukan orang karena pintu yang terbuka sangat kecil.

“Situasinya adalah orang itu berebut keluar, sementara sebagian sudah jatuh pingsan, terhimpit, terinjak karena efek dari gas air mata. Jadi ya miris sekali. Saya melihat detik-detik beberapa penonton yang tertumpuk dan meregang nyawa terekam sekali di CCTV," kata Nugroho.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com