Salin Artikel

Soal Gas Air Mata, Ini Kisah Para Penyintas Tragedi Kanjuruhan: Ini Beda, Benar-benar Menyakitkan...

Hal ini disampaikan Komnas HAM merespon keterangan polisi yang menyebut gas air mata yang ditembakkan di Stadion Kanjuruhan tidak menyebabkan kematian.

Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil meragukan keterangan kepolisian yang menyebut gas air mata di Stadion Kanjuruhan tidak menyebabkan kematian sebelum melakukan otopsi.

Sejumlah penyitas tragedi Kanjuruhan sendiri berbagi pengalamannya yang disebut lebih parah dari gas air mata yang pernah mereka alami sebelumnya.

Seorang suporter Arema, Andika Bhimantara yang berada di tribune VIP mengaku merasakan gas air mata yang ditumpahkan polisi di Stadion Kanjuruhan lebih menyakitkan dari yang pernah ia alami sebelumnya.

Pengalaman berjibaku dengan gas air mata pernah ia alami sebelumnya saat menonton pertandingan sepak bola di Sidoarjo, Jawa Timur dan Bali.

“Ini beda gas air matanya, kemarin benar-benar menyakitkan gitu. Saya juga nggak tahu ini gara-gara kebanyakan atau memang... Kalau mata kayak disiram pasir. Kayak orang kelilipan. Kalau sesaknya itu, tenggorokan sakit, napas itu susah,” katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (10/10/2022).

Pengalaman terpapar gas air mata juga diungkapkan suporter Arema lainnya, Izy – bukan nama sebenarnya. Ia mengaku sampai tak bisa membuka mata.

“Panik itu pasti. Karena kan tiba-tiba. Nggak bisa napas. Nggak bisa buka mata. Perih banget. Ya, gimana karena napas pedih, kita memilih untuk tidak napas, nunggu udara segar dulu,” ungkapnya.

Sebelumnya, Kadiv Humas Mabes Polri, Dedi Prasetyo menyatakan gas air mata yang ditembakkan di Stadion Kanjuruhan tidak menyebabkan kematian. Ia mengutip sejumlah ahli dari pakar racun, termasuk dokter paru dan spesialis mata.

“Saya hanya mengutip para pakar. GS atau gas air mata dalam tingkatan tertinggi pun, tidak ada yang mematikan,” kata Dedi dalam keterangan kepada media, Senin (10/10/2022).

Selain itu, Dedi juga mengungkapkan efek gas air mata yang digunakan polisi tidak mengakibatkan kerusakan yang fatal pada mata.

Dalam artikel BBC sebelumnya seorang profesor toksikologi lingkungan dari Universitas Leeds mengatakan kematian akibat gas air mata jarang, akan tetapi tidak mustahil.

Kematian sering terjadi akibat kombinasi gas air mata dengan faktor lainnya, seperti ruang sesak.

Akan tetapi, ia menegaskan dari tindakan polisi yang menembakkan gas air mata, telah memicu kepanikan dan menyebabkan kematian banyak orang.

Padahal kata dia, sebagian suporter sudah sempat terkendali sebelum polisi menembakkan gas air mata.

“Tapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Gas air mata inilah yang penyebab utama adanya kematian bagi sejumlah korban,” kata Anam.

Gas air mata ini yang kemudian menimbulkan kepanikan sehingga suporter berebut keluar stadion.

“Berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak. Susah napas dan sebagainya. Sedang Pintunya yang terbuka juga pintu kecil, sehingga sepanjang ini yang menyebabkan kematian,” tambahnya.

Anggota Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil, Andi Rezaldi sangsi atas keterangan polisi, karena tidak berdasarkan pemeriksaan korban yang meninggal.

"Sejauh ini belum ada otopsi terhadap para korban jiwa. Penting apabila otopsi dilakukan terdapat dokter independen yang ditunjuk oleh pihak keluarga,” katanya.

Andi yang juga peneliti dari KontraS menuding keterangan polisi yang menyebut gas air mata tidak mematikan bisa berimplikasi terhadap proses hukum. Kata dia, anggota polisi yang terlibat penembakan gas air mata terbebas dari jerat hukum.

Sejauh ini, kepolisian telah menetapkan enam orang tersangka dalam tragedi Kanjuruhan. Tiga di antaranya anggota polisi yaitu Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP H, Kabag Ops Polres Malang WSS, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi BSA.

Ketiga anggota polisi ini dijerat dengan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP soal kelalaian yang mengakibatkan kematian seseorang.

Selain itu, terdapat 20 anggota polisi lainnya yang sebagian besar bertugas di lapangan, menjalani sidang etik.

Menurut Andi Rezaldi, anggota polisi yang terlibat Tragedi Kanjuruhan ini tak pantas dijerat dengan pasal tentang kelalaian, karena dilakukan secara sistematis dan adanya faktor kesengajaan.

"Berkenaan dengan hal itu, penerapan pasal sebetulnya keliru menggunakan pasal kelalaian, yang tepat adalah penggunaan pasal dengan sengaja melakukan pembunuhan terhadap orang-orang,” lanjut Andi yang membuka kemungkinan terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran HAM berat.

Anggota TPF Koalisi Masyarakat Sipil lainnya, Jauhar Kurniawan menilai kepolisian belum mengungkap sepenuhnya orang di balik instruksi pelepasan gas air mata di Stadion Kanjuruhan.

"Tidak mungkin pangkat setingkat AKP itu mengambil keputusan yang begitu luar biasa, dalam hal penembakan gas air mata, karena itu ada penanggung jawab dalam hal ini kapolres. Ia mungkin bertanggung jawab kepada komandan satuan di Brimob dia bertugas itu,” katanya.

BBC telah menghubungi Kadiv Humas Mabes Polri, Dedi Prasetyo untuk mengkonfirmasi hal ini, akan tetapi belum ada tanggapan.

Masuk dalam bidikan TGIPF

Sementara itu, Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Profesor Rhenald Kasali mengatakan akan memasukkan gas air mata ini dalam penyelidikan mereka.

Dalam hal ini TGIPF menemukan adanya gas air mata yang kedaluwarsa—yang diakui pihak kepolisian.

"Itu sudah dibawa ke lab. Semuanya diperiksa. Itu adalah penyimpangan,” katanya.

TGIPF telah bekerja lebih dari satu pekan sejak Tragedi Kanjuruhan terjadi. Sejauh ini mereka telah menemukan sejumlah fakta-fakta lapangan, termasuk pertanyaan-pertanyaan untuk dikonfirmasi ke sejumlah pihak yang terlibat pertandingan Arema FC Vs Persebaya Surabaya.

Apa saja temuan TGIPF sejauh ini?

Prof Rhenald mengatakan sejauh ini timnya telah menemukan fakta bahwa Stadion Kanjuruhan dirancang untuk kerumunan penonton di era 1980-an.

“Sementara, kerumunan pada masa itu sudah berbeda. Banyak orang kemudian jumlahnya jauh lebih banyak,” katanya.

“Pintunya seperti pintu penjara. Pintunya sliding. Yang dibuka hanya satu dua bagian tertentu. Sedangkan pintu yang besar itu tidak didorong. Kuncinya tidak ditemukan. atau tidak diberikan,” tambah Prof Rhenald.

Selain itu, pertandingan dipaksakan dilakukan malam hari karena dugaan perintah pihak tertentu. Padahal pihak kepolisian Malang menganjurkan dilakukan sore hari.

“Jadi kemungkinan besar ada orang lain yang bertanggung jawab di sana, yang melakukan, apakah melakukan penekanan apakah melakukan perintah, sehingga tetap dilaksanakan pada malam hari,” kata Prof Rhenald. Temuan lainnya adalah pihak klub dan PSSI tidak melakukan pembinaan kepada suporter.

Sementara itu, anggota TGIPF lainnya, Akmal Marhali menemukan adanya kebutuhan bagi korban luka untuk mendapatkan perawatan jangka panjang.

“Rawat kontrol para korban harus juga menjadi perhatian semua pihak, termasuk efek trauma dan psikologis para korban, baik yang mengalami luka berat, sedang maupun yang luka ringan,” katanya dalam keterangan tertulis.

Dalam keterangan kepada media, anggota TGIPF Nugroho Setiawan juga berbagi temuan lapangannya.

Menurutnya, Stadion Kanjuruhan tidak layak untuk menggelar pertandingan dengan risiko tinggi [high risk match].

“Mungkin kalau itu medium atau low risk masih bisa,” katanya dalam keterangan kepada publik.

Selain itu, kata Nugroho, ketinggian dan lebar anak tangga di Stadion Kanjuruhan juga tidak ideal yang memungkinkan orang bisa terjatuh saat keluar.

Temuan lainnya adalah rekaman CCTV di pintu 13 yang ia sebut mengerikan sekali. Dalam CCTV tersebut terjadi penumpukan orang karena pintu yang terbuka sangat kecil.

“Situasinya adalah orang itu berebut keluar, sementara sebagian sudah jatuh pingsan, terhimpit, terinjak karena efek dari gas air mata. Jadi ya miris sekali. Saya melihat detik-detik beberapa penonton yang tertumpuk dan meregang nyawa terekam sekali di CCTV," kata Nugroho.

https://surabaya.kompas.com/read/2022/10/11/141500378/soal-gas-air-mata-ini-kisah-para-penyintas-tragedi-kanjuruhan-ini-beda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke