Hanya dengan saling mengikuti media sosial, para korban sudah merasa sangat mengenal dengan bandar arisan. Hal tersebut diperparah dengan kondisi pandemi, yang membuat orang tidak berinterakasi secara fisik.
"Pandemi orang lebih banyak menggunakan media sosial dan akhirnya saat saling follow merasa sudah mengenal dan mudah percaya," kata Lindat.
"Selain itu di media sosial kita bisa membentuk citra yang kita inginkan dan itu berbahaya karena dunia nyata belum tentu sama dengan yang dicitrakan di dunia maya," tambah Ketua Pusat studi Gender Universitas Negeri Jember tersebut.
Baca juga: Terlibat Arisan Online Bodong Istrinya, Briptu MS Jadi Tersangka dan Terancam Dipecat
Linda juga mengatakan saat ini banyak sekali investasi yang menggunakan istilah arisan. Menurutnya, penggunaan istilah arisan agar masyarakat awam lebih menerima.
"Kalau pake istilah investasi kan orang berpikirnya ada untung rugi. Nah kalo pakai istilah arisan pasti mikirnya untung. Ini menyamarkan eksploitasi investasi," kata Linda.
Ia mengatakan saat ini masyarakat menyukai sesuatu yang instan, termasuk mendapat keuntungan yang besar secara mudah.
Apalagi di media sosial disuguhkan dengan fenomena crazy rich yang awalnya bukan siapa-siapa lalu menjadi kaya.
Baca juga: Korban Arisan Fiktif di Bandung dan Sumedang 150 Orang, Polisi Buka Hotline Pengaduan
Hal tersebut membuat banyak orang kehilangan rasional dan kemampuan untuk kritis.
"Agar tidak terulang yang perlu dilakukan adalah memperbanyak literasi. Jangan percaya dengan keuntungan besar dalam waktu yang singkat. Berpikir ulang saat akan mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Selain itu yang harus dipahami adalah arisan bukanlah bentuk dari investasi," kata Linda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.