MALANG, KOMPAS.com - Pemilik sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jawa Timur, JEP, didakwa dengan empat tuntutan alternatif dakwaan terkait kasus dugaan kekerasan seksual.
Dakwaan ini dibacakan oleh jaksa penuntut umum dalam sidang yang digelar tertutup di Pengadilan Negeri Malang Kelas 1A pada Rabu (16/2/2022).
Juru Bicara Pengadilan Negeri Malang Kelas 1A, Mohammad Indarto mengatakan bahwa JEP didakwa dengan pasal alternatif atau beberapa pilihan dakwaan.
Baca juga: Polisi Serahkan Berkas Kasus Kekerasan Seksual di Sekolah SPI Kota Batu ke Kejaksaan
"Pasalnya bukan berlapis tapi dakwaan alternatif karena ada bedanya. Nanti dipilih dari sekian dakwaan itu mana yang dibuktikan dalam persidangan. Jadi beda, bukan dakwaan kumulatif," ujar Indarto, Rabu.
Untuk dakwaan pertama, kata dia, JEP didakwa Pasal 81 ayat 1 Juncto Pasal 76 d UU Perlindungan Anak dan Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Kemudian dakwaan alternatif kedua yakni Pasal 81 ayat 2 UU Perlindungan Anak Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Untuk dakwaan alternatif ketiga yakni Pasal 82 ayat 1 Juncto Pasal 76 E UU Perlindungan Anak Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Terakhir dakwaan alternatif keempat yaitu Pasal 294 ayat 2 kedua KUHP Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Baca juga: Pendiri Sekolah SPI di Batu Jadi Tersangka Kasus Kekerasan Seksual, Terancam 15 Tahun Penjara
Sementara terkait terdakwa yang tak ditahan, Indarto menjelaskan bahwa hal itu merupakan kewenangan majelis hakim yang diketuai oleh hakim Djuanto.
"Kewenangan itu dari majelis hakim dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun karena majelis hakim yang tahu berkaitan dengan kepentingan persidangan ke depannya. Atau hak prerogatif dari majelis hakim," ungkapnya.
Dia juga mengklarifikasi beredarnya informasi yang menyebut saksi korban ada lebih 20 orang.
"Dalam perkara ini saksi korban yang diajukan adalah satu orang sebagaimana yang ada di dakwaan yaitu atas nama inisial SDS. Jangan sampai berkembang korbannya sekitar 20 lebih," katanya.
Indarto menuturkan, persidangan digelar tertutup karena berkaitan dengan perkara asusila. Nantinya sidang akan digelar terbuka pada saat sidang pembacaan putusan.
"Pada proses awal dakwaan, pembuktian, pembelaan itu semua tertutup, kecuali pada saat pembacaan putusan harus terbuka," terangnya.
Baca juga: 5 Fakta Kota Batu, Kota Apel yang Pernah Berjuluk Swiss Kecil di Pulau Jawa
Kasi Intel Kejaksaan Negeri Batu yang juga salah satu jaksa penuntut umum (JPU) Edi Sutomo mengatakan, tak ada pengajuan eksepsi atau nota keberatan dari kuasa hukum terdakwa atas dakwaan tersebut.
"Jadi surat dakwaannya sebanyak 14 lembar, sudah dibacakan berturut-turut dari empat JPU Kejari Batu. Untuk ancaman hukum minimal tiga tahun (penjara), maksimal 15 tahun," kata Edi.
Sidang selanjutnya akan digelar pada 23 Februari mendatang dengan agenda pemeriksaan tiga orang saksi.
Baca juga: Komnas PA: Korban Tak Mau Sekolah SPI Ditutup, Ingin Pelaku Bertanggung Jawab Secara Hukum
"Kuasa hukum terdakwa tidak mengajukan esepsi maka langsung dilanjutkan ke pembuktian pada sidang Rabu, 23 Februari jam 10," tuturnya.
Sementara itu, terdakwa JEP hanya bisa menunduk usai keluar menjalani sidang tersebut.
Dengan pengawalan dari pihak kepolisian, terdakwa JEP enggan berbicara kepada awak media dan langsung meninggalkan tempat menggunakan mobil pribadi.
Kuasa hukum JEP, Jeffry Simatupang menyatakan bahwa seluruh dakwaan terhadap kliennya itu tak benar.
"Kalau dari kita yakin bahwa JEP tidak bersalah dan itu nanti kita buktikan di proses persidangan. Hanya saja persidangan tertutup maka kita harus menghormati proses persidangan," kata Jeffry saat dihubungi via telepon, Selasa (15/2/2022) malam.
Jeffry mengungkapkan, dari fakta praperadilan yang sebelumnya pernah diajukan pihaknya, dia meyakini bahwa kliennya tersebut tidak ditemukan perbuatan yang telah disangkakan selama ini.
"Tetapi dari fakta-fakta praperadilan kita bisa temukan bahwa perbuatan itu tidak ada, tidak ada saksi yang melihat, mendengar, mengalami tidak ada yang sudah diperiksa di praperadilan," ungkapnya.
Baca juga: 4 Kasus Kekerasan Seksual dengan Vonis Hukuman Kebiri, Ada yang Perkosa 15 Anak Laki-laki
Kemudian dari hasil visum yang ada, menurutnya, juga tidak bisa untuk membuktikan kejadian pada masa lampau.
"Yang kedua ahli visum mengatakan, ahli visum tahun 2021 tidak bisa membuktikan kejadian di masa lampau di tahun 2008-2011 atau pun sampai 2020 tidak bisa, jadi visum tidak bisa dijadikan alat bukti," katanya.
Bukti lain yang akan ditunjukkan saat di pengadilan adalah soal pelapor yang pamit kepada para saksi untuk tur di hotel wilayah Madiun bersama pacarnya.
"Itu 2021 pamitan mau tur di hotel sama pacarnya, setelah itu baru melakukan visum, pertanyaannya visum itu yang mana," tuturnya.
Selain itu, kata dia, teman satu kamar tidak ada yang menyatakan bahwa saksi pernah bercerita atau mengalami pelecehan seksual dan tidak ada pelapor dalam keadaan trauma.
"Karena apa? Tahun 2018 ada YouTube video dimana pelapor menyatakan bahwa terdakwa orang yang baik, orang yang memperjuangkan anak-anak," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.