Rupanya di Pesantren Siwalan ini Hasyim Asyari menemukan jodohnya, yaitu Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub.
Pada tahun 1892 M atau 1308 H, keduanya melangsungkan pernikahan. Saat itu, KH Hasyim Asyari berusia 21 tahun.
Setelah menikah, Hasyim Asyari bersama istri dan mertuanya memutuskan untuk berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Selesai haji, Kiai Hasyim Asyari dan Nyai Nafisah tidak segera pulang ke Tanah Air, melainkan menetap di Mekah untuk berguru.
Namun, Nyai Nafisah meninggal dunia bersama dengan bayi yang dilahirkannya. Hal itu membuat Kiai Hasyim akhirnya memutuskan untuk pulang ke Tanah Air.
Beberapa waktu kemudian, Kiai Hasyim pun kembali ke Mekah untuk melanjutkan pendidikannya.
Pada periode kedua di Mekah ini, Kiai Hasyim tercatat berguru kepada sejumlah ulama, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Memasuki tahun ketujuh di Mekah, Kiai Hasyim menikah lagi dengan Khadijah, putri Kiai Romli dari desa Karangkates, Kediri.
Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1899 (1315 H). Setelah pernikahan KH Hasyim Asyari dan Nyai Khadijah memutuskan pulang ke Jawa.
Sesampainya di Tanah Jawa, KH Hasyim Asyari langsung bergerak menyebarkan ajaran Islam melalui pesantren.
Namun KH Hasyim Asyari lebih memilih untuk mendirikan pesantrennya sendiri ketimbang meneruskan pesantren yang didirikan ayahnya.
Pada tahun 1899, KH Hasyim Asyari resmi mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.
Perkembangan Pesantren Tebuireng ini cukup pesat. Awal didirikan hanya ada 8 santri, namun dalam waktu tiga bulan jumlah santri sudah meningkat menjadi 28 orang.
KH Hasyim Asyari juga aktif memperjuangkan nilai-nilai luhur Islam kepada masyarakat.
Hal ini tampak pada keputusannya mendirikan sebuah organisasi yang saat ini menjelma jadi organisasi terbesar di Indonesia dan dunia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).