SURABAYA, KOMPAS.com - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, bakal memberikan sanksi menonaktifkan nomor induk kependudukan (NIK) dan BPJS, bagi penderita tuberkulosis (TBC) menolak pengobatan gratis.
Diketahui, berdasarkan data Pemkot Surabaya, penyakit TBC di Kota Pahlawan mencapai 1.917 kasus, di Maret 2025.
Para penderita diminta untuk rutin berobat di fasilitas kesehatan.
“Sudah tahu sakit kenapa tidak mau diobati, enggak mau menjaga dirinya, kalau itu (penderita TBC) berjalan kan bisa menular ke orang lain," kata Wali Kota Eri Cahyadi, di Balai Kota Surabaya, Senin (28/4/2025).
Eri mengatakan, berkaca dari penyakit Covid-19 yang sempat mewabah lima tahun lalu.
Jika tidak saling menjaga diri satu sama lain, maka TBC bisa menular cepat seperti virus Corona.
“Kita kan harus menjaga diri kita, tapi jangan merugikan orang lain sehingga pada waktu Covid-19 itu kan ada yang pakai masker sehingga tidak menularkan orang lain," jelasnya.
Baca juga: Eri Cahyadi Bantu Kembalikan 4 Ijazah Karyawan, 3 di Antaranya dari Luar Surabaya
"Lah sekarang (TBC), sudah sakit, tidak mau diobati, malah keliling, nah itu kan jadi membahayakan warga Surabaya lainnya,” tambahnya.
Oleh karena itu, kata Eri, pihaknya bakal memberikan sanksi dengan menonaktifkan NIK dan BPJS pasien TBC yang enggan berobat. Hal ini untuk mengantisipasi penyebaran.
”Ya (NIK dan BPJS) diberhentikan semuanya, termasuk kegiatan yang untuk adminduknya akan kita bekukan semuanya. Karena kan (TBC) itu membahayakan warga semuanya," jelasnya.
"Baru bisa aktif lagi ketika dia (pasien) mau berobat lagi, lalu mau sanksi apa yang akan kita berikan lagi? Kalau tidak mau berobat, kemudian menular ke warga lainnya kan jadi bahaya,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya, Nanik Sukristina mengatakan, pihaknya menggunakan Perwali nomor 117 tahun 2024 pasal 26 dan 29, dalam memberikan sanksi.
Dalam Perwali itu tertulis, pasien penderita TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO) yang menolak pengobatan tanpa konfirmasi selama 7 hari, rumahnya ditempel stiker 'mangkir pengobatan'.
”Mekanisme yang dilakukan, berupa satu kali kunjungan rumah oleh puskesmas dan dua kali kunjungan Tim Hexahelix wilayah, untuk memberikan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) sanksi administratif," ucap Nanik.
"Jika sudah dilakukan intervensi sebanyak tiga kali dan tetap tidak ada perubahan. Maka akan dilakukan pemasangan stiker bertulis 'mangkir pengobatan' di rumah pasien,” tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang