BANGKALAN, KOMPAS.com - Mantan Bupati Bangkalan, Jawa Timur, Abdul Latif Amin Imron divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta serta subsider kurungan selama 4 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Selasa (22/8/2023).
Mantan bupati yang akrab disapa Ra Latif itu juga diharuskan membayar uang sebesar Rp 9,7 miliar kepada negara.
Baca juga: Bupati Bangkalan Divonis 9 Tahun Penjara dalam Kasus Jual Beli Jabatan
Ra Latif dinyatakan terbukti terlibat dalam perkara jual beli jabatan dan gratifikasi di lingkungan pemerintah Kabupaten Bangkalan.
Salah satu kuasa hukum Ra Latif, Fahrillah mengaku, saat ini pihaknya masih belum mengambil tindakan apa pun.
"Kami masih pikir-pikir untuk menentukan langkah selanjutnya. Yang pasti, akan kami baca dulu putusan vonisnya sampai tuntas dan pertimbangan-pertimbangannya apa saja. Vonis tadi malam hanya dibacakan inti pokoknya saja," ujar Fahrillah saat dihubungi melalui sambungan telepon seluler, Rabu (23/8/2023).
Baca juga: UTM Bangkalan Janji Segera Tuntaskan Ijazah Alumni yang Belum Terdaftar di Kemendikbud Ristek
Fahri juga masih akan bermusyawarah dengan Ra Latif dan keluarganya untuk menindaklanjuti vonis itu. Oleh sebab itu, dirinya belum bisa memastikan apakah akan mengajukan banding atau tidak.
"Untuk banding kami belum tahu. Butuh rembuk dulu dengan klien dan keluarganya," imbuhnya.
Fahri mengatakan selama di persidangan, sebanyak 63 saksi yang dihadirkan. Dari jumlah tersebut, terdapat enam saksi yang meringankan kliennya. Selain itu, tidak terdapat saksi ahli yang dihadirkan oleh pihaknya maupun pihak jaksa.
Tidak adanya saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan, membuat dia mempertanyakan jumlah kerugian yang dituntutkan kepada kliennya.
Menurutnya, perhitungan kerugian negara harus melalui proses perhitungan oleh lembaga berwenang atau ahli.
Baca juga: Penjelasan UMT Bangkalan soal Ijazah Alumni Tak Terdaftar di Kemendikbud Ristek
"Kalau tidak ada ahli atau pihak yang berwenang untuk menghitung kerugian negara, bagaimana bisa ditentukan jumlah Rp 9,7 miliar itu merupakan kerugian negara," tambahnya.
Ia juga menilai, kasus yang melibatkan kliennya itu merupakan kasus gratifikasi dan suap yang melibatkan uang pribadi dari lima kepala dinas. Sehingga uang yang digunakan bukan kerugian negara.
"Uang yang diterima itu bukan uang negara, tapi uang personal. Dari sisi mana kerugian negara yang dimaksudkan," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.